Syekh Yusuf Al Maqassari menjadi salah satu dari Wali Pitue

Koran Sulindo – Sosok KH Ma’ruf Amin hari-hari ini ramai dibicarakan publik. Ini terkait terpilihnya sang ulama sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi dalam kontestasi Pilpres 2019. Sebagian orang menilai pemilihan Kiai Ma’ruf itu sebagai langkah pragmatis Jokowi untuk memenangkan pertarungan politik ke depan.

Menariknya, pemilihan Kiai Ma’ruf itu diwarnai “drama politik” yang sempat berkepanjangan. Tapi, dibalik semua itu ada hikmahnya. Hingar-bingar “drama politik” itu mengingatkan kita bahwa peranan ulama dalam sejarah politik di Indonesia terbilang besar.

Sebagai misal Syekh Yusuf Al Maqassari (1627-1699). Ulama besar asal Gowa-Makassar ini setelah berkelana 20 tahun lebih ke Hijaz dan manca negara demi mendalami ilmu keagamaan, kemudian menjadi penasehat utama penguasa Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1651-1683).

Di bawah pemerintahan Sultan Ageng, Kesultanan Banten mencapai masa keemasannya. Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang penting di Nusantara. Sebaliknya, kapal-kapal Kesultanan Banten berlayar ke berbagai penjuru Nusantara dan dunia sebagai kekuatan dagang. Satu-satunya musuh utama Kesultanan Banten di masa itu adalah Belanda (VOC). Kedua kekuatan ini berperang pada 1619 dan 1633-1639.

Selain itu, Sultan Ageng juga mengukuhkan Banten sebagai salah satu pusat Islam di Nusantara. Dengan begitu, keberadaan al-Maqassari—sebagai ulama yang memiliki jaringan ulama internasional— segera menjadi penting. Al-Maqassari memainkan peranan penting bukan hanya dalam soal keagamaan, tapi juga dalam siasat politik.

Ketika terjadi konflik antara Sultan Ageng dengan putranya, Abd al-Qahar yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji, al-Maqassari memihak Sultan Ageng. Saat Sultan Haji mengundang bantuan Belanda dalam perang melawan ayahnya, al-Maqassari menentang keras kebijakannya muridnya tersebut. Setelah bertempur selama setahun lebih, pada tahun 1683 Sultan Ageng akhirnya tertangkap pasukan Belanda, lantas dibuang ke Batavia. Pada 1692, Sultan Ageng Tirtayasa wafat di tanah pembuangan.

Pasca tertangkapnya Sultan Ageng, Al-Maqassari dan Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng lainnya, memimpin pertempuran melawan pasukan Belanda dan Sultan Haji. Pasukan Al-Maqassari—yang terdiri atas sekitar 4.000 orang Banten, Makassar/Bugis, dan Jawa—melakukan perang gerilya di seluruh wilayah Jawa bagian Barat. Pasukan ini sulit ditaklukkan Belanda. Ini membuktikan keberanian dan kegigihan Al-Maqassari dalam menentang musuh.

Baru setelah dengan tipu-daya, Belanda akhirnya berhasil menangkap Syekh Yusuf al-Maqassari pada Desember 1683. Dengan tertangkapnya ulama kharismatik ini, praktis Perang Banten berakhir. Sang ulama kemudian dibawa ke Batavia, dan kemudian dibuang ke Srilanka, karena khawatir kaum muslim akan membebaskannya.

Di masa pergerakan kebangsaan pun para ulama berpolitik, meski tidak masuk dalam kekuasaan. Haidratus Syekh Hasyim Asy’ari dan sejumlah ulama lainnya mendeklarasikan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945, yang isinya menyerukan melawan penjajah Belanda yang ingin berkuasa lagi di bumi Indonesia.

Di masa awal kemerdekaan bahkan dibentuk partai politik yang berasaskan Islam seperti Masjumi, Partai NU, Perti, dan lain-lain. Pemimpin utama Masjumi yang juga seorang ulama terkemuka, Mohammad Natsir, pernah menjadi Perdana Menteri– jabatan pemerintahan tertinggi di masa Demokrasi Parlementer. Pemimpin NU, Idham Chalid, juga menjabat Wakil Perdana Menteri dibawah pemerintahan Presiden Soekarno.

Di masa Orde Baru, dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, memang tak ada ulama yang menjadi wakil presiden. Tapi, di masa reformasi Kiai Haji Abdurahman Wahid alias Gus Dur tampil sebagai Presiden RI (periode 1999-2001).

Dengan tampilnya Kiai Haji Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang mendampingi Jokowi– yang berpeluang besar melanjutkan periode kedua masa kepresidenannya– seakan meneruskan sejarah panjang ulama di kancah kekuasaan. Tak ada yang janggal mengenai hal ini alias lumrah saja.

Tugas kita sebagai warga-negara di ranah demokrasi adalah mengawal para pemimpin negara– termasuk Kiai Ma’ruf jika kelak terpilih sebagai Wakil Presiden RI. Kawal dengan kritik, bahkan yang keras sekalipun, jika kita anggap kebijakan dan sikapnya sebagai pemimpin telah melenceng dari yang digariskan. Sebaliknya, apresiasi akan kita berikan saat kebijakan para pemimpin itu berkeadilan dan mensejahterakan rakyat. [Imran Hasibuan]