Koran Sulindo – Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan kematian para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam Pemilu April lalu karena alamiah.
“Salah satu hal terpenting yang kami lihat dari proses di lapangan adalah bahwa sakit dan kematian yang terjadi itu seluruhnya disebabkan oleh sebab-sebab alamiah. Data kami menunjukan bahwa semua yang meninggal itu disebabkan oleh penyebab natural. Semuanya disebabkan oleh problem kardiovaskuler, entah jantung, stroke atau gabungan dari jantung dan stroke,” kata Koordinator Kajian Lintas Disiplin UGM, Abdul Gaffar Karim, di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019).
Kajian yang dilakukan tim peneliti tidak menemukan adanya racun yang menyebabkan meninggalnya para petugas KPPS.
“Kami sama sekali tak menemukan indikasi misalnya diracun atau sebab-sebab lain yang lebih ekstrim. Yang ingin digarisbawahi bahwa sakit dan kematian petugas KPPS itu tidak semua terkait dengan proses pencoblosan tanggal 17 April sehingga tidak ada alasan sama sekali untuk mengkaitkannya dengan kecurangan pemilu,” kata Abdul.
KLB
Seluruh kasus didiskusikan secara panel di hadapan dokter dari Departemen Kedokteran Forensik FK-KMK UGM. Hasil autopsi verbal kemudian dianalisis oleh panel ahli yang beranggotakan tiga dokter spesialis forensik konsultan untuk menentukan kemungkinan penyebab kematian.
Tim berpendapat meninggalnya para petugas pemilu merupakan suatu kejadian luar biasa (KLB) karena itu dibutuhkan penanganan yang luar biasa pula.
Tim menyoroti manajemen krisis yang tidak berfungsi dengan baik di lapangan. Para petugas tidak memahami bagaimana cara menindaklanjuti hal di luar daripada yang direncanakan.
“Sehingga, ketika ada masalah yang di luar dari yang direncanakan, para petugas di lapangan tidak selalu tahu bagaimana cara menindaklanjuti ketika ada petugas yang sakit mendadak misalnya, yang pada akhirnya berujung kematian,” katanya.
UGM mengusulkan agar dilakukan pengecekan kondisi kesehatan (fisik & mental) saat proses rekrutmen petugas. KPU juga dapat memberi pelatihan yang lebih optimal kepada para petugas sehingga tidak terjadi kebingungan dalam pelaksanaan tugas yang dapat menjadi tambahan beban kerja bagi para petugas.
Untuk jangka dekat, UGM menawarkan ide agar mahasiswa dapat dilibatkan sebagai bagian dari tenaga penyelenggara pemilu. Sistemnya dengan memanfaatkan mekanisme Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan magang untuk menyuplai tenaga pemilu di lapangan. Anak muda, terutama mahasiswa, bisa bekerja lebih efisien dalam waktu yang lebih singkat.
Keterlibatan mahasiswa tidak membutuhkan tambahan biaya karena sudah diatur dalam program KKN dan magang tersendiri.
“Kami akan mencoba menjajaki segala kemungkinan rekomendasi itu dengan menerapkannya di Pilkada serentak tahun 2020 sebagai uji coba sebelum diterapkan di pemilu yang lebih luas,” kata Abdul.
Beban Kerja Tinggi
Sementara itu, peneliti dari Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Riris Andono Ahmad, mengatakan seluruh petugas pemilu yang meninggal dunia berjenis kelamin laki-laki dengan 80 persen memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, dan tidak ditemukan indikasi kekerasan maupun kejadian tidak wajar.
“Temuan utama adalah beban kerja yang ada di masing-masing TPS. Yang kami ukur adalah waktu kerjanya, ada empat kegiatan utama yakni penyiapan dan distribusi surat suara, penyiapan TPS dan pelaksanaan pemilu,” kata Riris.
Dalam temuannya, beban kerja tersebut berkisar 20 hingga 22 jam pada hari pelaksanaan pemilu. Dengan perincian 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS, 8 jam hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan.
Terdapat sekitar 30 persen petugas TPS di DIY melaporkan adanya kejadian yang mengganggu jalannya pemilu. Sedangkan 20 persen terkait dengan administrasi yang rumit, perhitungan suara dan pengetahuan petugas terkait teknis.
Selain beban kerja saat pemilu, beberapa petugas juga masih bekerja paruh waktu di luar perannya sebagai petugas pemilu.
“Beberapa petugas TPS masih melakukan pekerjaannya seperti biasa sehingga menyebabkan beban kerjanya makin tinggi. Mereka yang meninggal usianya rerata 50 tahun dan rentang usianya 46 hingga 67 tahun. Semua kasusnya adalah laki-laki. Kejadian tertinggi di Kabupaten Sleman. 80 persen mempunyai riwayat penyakit diabites melitus, hipertensi, jantung, dan 90 persen adalah perokok,” katanya.
Menurut UGM, tantangan dalam penyelenggaran pemilu serentak 2019 adalah sulitnya mendapatkan petugas pemilu yang memiliki kondisi kesehatan yang baik.
“Selama ini kita hanya mengacu pada surat keterangan sehat yang artinya itu klaim dari mereka sendiri,” kata Riris.
UGM menyarankan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh bagi setiap calon petugas untuk penyelenggaran pemilu selanjutnya
Dalam penelitian yang menggunakan metode random sampling tersebut, UGM memilih 400 TPS dari 11.781 TPS di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai sampel. Dari sekitar 400 petugas KPPS yang meninggal, 12 di antaranya berasal dari DIY.
Penelitian dilakukan dengan metodologi verbal otopsi atau metode menggali kronologi peristiwa dan wawancara tanda gejala mereka yang meninggal lalu dikonstruksikan penyebab kematiannya oleh dokter spesialis kedokteran forensik.
Berdasarkan temuan, penyebab atau meningkatnya risiko terjadinya kematian atau kesakitan petugas diduga karena riwayat penyakit kariovaskular yang sudah dimiliki, beban kerja petugas yang sangat tinggi sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan, adanya kendala terkait bimbingan teknis (bimtek), logistik, dan kesehatan.
Berdasarkan hasil otopsi verbal yang dilakukan tim peneliti, ditemukan bahwa rata-rata beban kerja petugas KPPS sangat tinggi. Tidak hanya selama hari pemungutan suara, tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Ditambah lagi dengan lemahnya manajemen risoko di lapangan yang menyebabkan sakitnya petugas KPPS tidak tertangani dengan baik sehingga menyebabkan kematian.
Sebelumnya, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI pada 4 Mei 2019, sebanyak 440 orang petugas KPPS meninggal, sedangkan sebanyak 3.788 orang sakit setelah proses Pemilu selesai.
Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti UGM lintas fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), dan Fakultas Psikologi. [Didit Sidarta]