Koran Sulindo – Pemikiran seorang pemain Liga Inggris berasal klub Watford Troy Deeney menjadi perhatian publik. Ia berani menolak bermain untuk melanjutkan Liga Inggris yang sempat terhenti akibat penyebaran virus corona.
Ia dengan lantang menyebutkan masih enggan untuk bermain lagi di tengah pandemi corona. Ia mempertanyakan sanksi apa yang akan dijatuhkan kalau pemain menolak berlaga. Deeney memprioritaskan kesehatan dan keselamatan keluarganya.
“Saya bahkan tak membahas mengenai sepak bola pada momen ini – saya membicarakan mengenai kesehatan keluarga saya, dan begitulah,” kata Deeney seperti dikutip Daily Mail.
“Andai saya merasa saya tak mau menjaga keluarga saya, maka saya tak akan melakukan itu. Saya tak ingin menempatkan keluarga saya dalam risiko,” dan “Apa yang akan mereka lakukan, mengambil uang saya? Saya pernah bangkrut sebelumnya, jadi itu tak akan mengganggu saya,” kata Deeney menambahkan.
Deeney berani untuk mengatakan kalau cuma untuk uang, maka ia akan memilih tidak bermain lagi di tengah ancaman corona. Bukannya apa-apa, ketakutan pemain ini cukup beralasan, hasil tes virus corona di lingkungan Liga Inggris mulai dari pemain hingga pengurus lainnya ternyata ada yang positif terinfeksi virus Covid-19. Artinya ancaman virus corona itu masih menakutkan.
Di Liga Jerman juga para fans klub menolak jika kompetisi dilanjutkan dengan tergesa-gesa dan mengorbankan penonton. Spanduk besar terpampang di stadion klub Augsburg, Jerman tertulis football will live – your business is sick (sepak bola akan terus hidup, bisnis Anda yang sakit). Spanduk yang dibuat para fans garis keras klub Liga jerman itu marah kepada pengurus liga yang memaksakan kompetisi Liga jerman dilanjutkan kembali dengan mengorbankan pertandingan diselenggarakan tanpa penonton.
Ultras begitu biasanya fans garis keras ini disebut menyatakan, cuma uang yang menjadi faktor utama sebuah kompetisi berjalan di tengah ancaman corona. Para fans ini menganggap dengan pertandingan tanpa penonton terlihat jelas kalau semuanya berjalan cuma ingin menyelesaikan liga dengan uang yang datang dari siaran televisi.
Padahal para fans mengganggap kompetisi sepakbola bukanlah cuma sekadar bisnis. Pengurus klub dan liga mengganggap kalau semuanya ini hanya komoditi bisnis. Para fans tetap rela untuk menunda liga namun dengan keadaan normal, dimana para fans tetap bisa datang ke stadion.
Semuanya resah jika hitungan bisnis menjadi latar belakang mengapa Liga Inggris dan kompetisi lainnya bersikeras untuk dilanjutkan.
Kondisi serupa juga terjadi di berbagai negara di kala banyak pemerintahan terlihat memaksakan untuk membuka lockdown. Walau secara data ternyata jumlah korban corona masih menanjak.
Begitu juga di Indonesia. Pemerintah tengah menyiapkan protokol untuk mengatur kenormalan baru atau disebut sebagai “new normal” di tengah penambahan kasus Covid-19 yang masih mencapai ratusan orang per hari. Mulai dari tata cara beribadah sampai langkah masuk ke restoran akan diatur.
Provinsi Bali, Yogyakarta, dan Kepulauan Riau jadi proyek percontohan pertama. Persiapan protokol new normal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy usai rapat kabinet dengan Presiden Joko Widodo pada 18 Mei lalu.
“Jadi nanti akan ada protokol bagaimana di restoran, bagaimana ibadah, nanti menteri agama akan mengatur itu. Lalu protokol bagaimana datang di acara yang pengunjung relatif banyak, dan sebagainya, nanti akan diatur secara detil dan itu harus dipatuhi,” kata Muhadjir.
Namun, rencana tersebut menurut banyak pengamat ekonomi, ahli kesehatan dan pihak lainnya adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kelompok bisnis dan akan terus menguras uang negara untuk meredam penyebaran virus corona yang semakin sulit dihentikan.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menjelaskan protokol new normal akan mengatur kehidupan masyarakat ketika berkumpul di luar rumah, mulai dari beribadah secara bersama-sama, makan di restoran hingga berkumpul menghadiri acara publik.
“New normal, nanti boleh tetap salat Jumat berjamaah tapi beda salat Jumat berjamaahnya dengan sebelum ada new normal ini,” kata Muhadjir.
Syarat New Normal
Padahal kajian dari para peneliti epidemiologi menyebutkan ada beberapa persyaratan jika ada pelonggaran pembatasan sosial untuk mengurangi dampak penyebaran virus corona.
Pertama, laju kasus baru sudah turun secara konsisten, atau angka reproduksi (R0) kasus turun signifikan misalnya sudah sampai dengan kurang dari atau sama dengan satu. Kedua, adanya tren penurunan populasi berisiko dalam hal ini penurunan pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pemantauan (ODP), dan orang tanpa gejala (OTG).
Ketiga, jumlah dan kecepatan tes sudah memadai, yaitu kapasitas tes PCR, jadi minimal sudah tidak ada lagi tumpukan antrean sample di laboratorium dan stok reagen aman untuk 1-2 bulan ke depan.
Keempat adalah kesiapan sistem kesehatan. Tidak hanya kapasitas daya tampung jika terjadi lonjakan kasus, tapi juga kapasitas tim di lapangan dalam melakukan deteksi dini, pelacakan kasus dan kontak, serta pelaporan yang sistematis. Dari persyaratan itu memang Indonesia tampaknya belum bisa melonggarkan pembatasan sosial.
Yang cukup berbahaya adalah terjadinya serangan atau gelombang kedua ke negara-negara yang sudah melonggarkan pembatasan sosial. Korea Selatan, misalnya, yang merasakan ada serangan gelombang kedua virus Covid-19 ketika data mereka menunjukkan adanya penurunan jumlah kasus. Korea pun kelimpungan dan mereka langsung memberikan pembatasan kembali.
Nah, Indonesia sendiri secara kurva jumlah penduduk yang positif tak kunjung turun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah memperingatkan bahwa ada kemungkinan terjadinya gelombang kedua di negara-negara yang mulai melonggarkan pembatasan.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti menilai, rencana pengurangan atau pelonggaran aturan pembatasan sosial yang dibungkus dalam bentuk protokol new normal adalah bentuk keberpihakan pemerintah kepada kelompok bisnis, tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan masyarakat.
“Pemerintah hanya mendengarkan sekelompok orang dari pihak bisnis. Pemerintah terburu-buru jika aturan itu dikeluarkan dalam waktu cepat,” kata Esther.
Ia menambahkan jika rencana itu diterapkan, hanya akan membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk karena menguras uang pemerintah untuk meredam virus tersebut.
“Jadi berapa pun nanti anggaran yang dikeluarkan pemerintah itu tidak akan mampu untuk meredam virus Covid-19 karena penyebarannya luas sekali. Jadi satu-satunya cara adalah membatasi diri, mengimbau masyarakat untuk stay at home,” kata Esther.
“Yang utama itu kesehatan baru ekonomi. Nyawa tidak bisa dibeli dengan uang. Kita sudah sehat, uang itu bisa dicari. Tidak ada negara yang melonggarkan PSBB jadi landai, ini rencana yang salah.”
Apalagi ternyata uang untuk mengurangi dampak bisnis dari virus corona ini juga ternyata datang dari utang dan penerbitan surat utang. Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyetujui pendanaan sebesar US$ 250 juta untuk program Indonesia Covid-19 Emergency Response pada 22 Mei lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pendanaan ini akan mendukung Indonesia mengurangi risiko penyebaran, meningkatkan kemampuan mendeteksi, serta meningkatkan tanggapan terhadap pandemi Covid-19. Program ini sekaligus akan mendukung penguatan sistem nasional untuk kesiapsiagaan kesehatan masyarakat.
“Pemerintah Indonesia menggunakan berbagai cara untuk mengurangi dampak terkait sektor kesehatan, sosial dan ekonomi akibat Covid-19,” kata Sri Mulyani dalam keterangan resminya pada 29 Mei lalu.
Termasuk surat utang yang akan diterbitkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Lagi-lagi utang yang akan kembali dibebankan ke masyarakat. Pemerintah harus segera menghitung kembali untung rugi jika memang harus membuka perlahan pembatasan sosial yang sekarang berjalan pun ternyata masih bolong di sana-sini.
Dalam kasus pandemi Covid-19 ini, pepatah orang tua dulu tampaknya perlu dipertimbangkan: uang bisa dicari, tetapi nyawa tak akan bisa kembali. [Kenourios Navidad]