Sulindomedia – “Sudah saatnya relasi stasiun televisi dan publik dalam perspektif studi audiens berada dalam negotiated reading, bukan hegemonic reading yang secara mutlak dikendalikan stasiun televisi. Uji publik merupakan wujud nyata dari negotiated reading.” Demikian pendapat yang dikatakan Fajar Junaedi, pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senin (1/2/2016).
Pernyataan Junaedi tersebut menanggapi dengan permintaan masukan dari masyarakat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengenai perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran 10 televisi swasta, yakni ANTV, Global TV, Indosiar, MNC TV,RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, TV One, dan Metro TV, yang izin siarannya akan segera berakhir pada Oktober 2016.
Menurut pandangan Junaedi, sudah menjadi rahasia umum stasiun televisi telah banyak melakukan pelanggaran etika dan regulasi, terutama pelanggaran terhadap Undang-Undang Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran-Standard Program Siaran (PPP-SPS). Pelanggarannya pun terjadi secara massif. “Seperti ditunjukkan banyaknya konten kekerasan verbal dan fisik serta nihilnya perlindungan kepada anak,” ungkap Junaedi.
Hal lain misalnya ketika Pemilu 2014 lalu, banyak stasiun televisi berlomba-lomba memberitakan sebuah informasi kepada publik dengan kecenderungan-kecenderungan membela tokoh politik yang didukung melalui sebuah pemberitaan.
Haryadi Arief Nur Rasyid, Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UMY, menambahkan, televisi di Indonesia kerap menyamaratakan hak kebebasan pers dengan kepentingan untuk mendapatkan rating, yang notabene hal tersebut hanya kepentingan kapitalisme semata. Bahkan, Haryadi dengan tegas menilai, atas nama kebebasan pers, kondisi lembaga penyiaran di Indonesia saat ini diibaratkan gelombang tsunami, yaitu besar, kuat, dan tak terbendung. Ia menilai uji publik yang dilakukan oleh KPI cukup baik.
“Melalui mekanisme tersebut, pemerintah dapat melakukan kontrol terhadap institusi penyiaran Indonesia,” tuturnya.
Ditambahkan Haryadi, bersinergi dengan lembaga KPI diharapkan pemerintah dapat memanfaatkan momen perpanjangan izin tersebut untuk mengevaluasi dan kemudian memberikan punishment ke lembaga penyiaran yang terbukti tidak menempatkan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan ekonomi dari lembaga penyiaran.
“Mekanisme perpanjangan izin tersebut dapat menjadi instrumen untuk memecahkan permasalahan oligopoli industri media di Indonesia. Dan, pemerintah dapat memaksa agar kepemilikan media tidak hanya mengumpul pada segelintir orang saja,” katanya. [YUK/PUR]