Tur ke Asia, Saudi Mencari Pijakan

Presiden Jokowi bersama Raja Salman di Istana Bogor [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud menggelar tur sebulan ke Asia mempromosikan peluang investasi sekaligus memperkuat hubungan ekonomi dan politik di kawasan ini. Setelah Malaysia dan Indonesia, kunjungan berlanjut ke Jepang dan Tiongkok. Rangkaian kunjungan ini adalah yang pertama sejak ia naik takhta Januari 2015 silam.

Di Indonesia, menegaskan pentingnya lawatan rombongan itu terdiri atas 1.500 delegasi termasuk 10 menteri, 25 pangeran dan 459 ton kargo yang diangkut tujuh pesawat yang mendarat di Jakarta dan Bali.  Ia akan berada di Indonesia dari tanggal 1 hingga 9 Maret, dan Bali memang menjadi agenda liburan keluarga kerajaan setelah pertemuan kenegaraan di Jakarta.

Kunjungan terakhir penguasa Arab Saudi ke Indonesia adalah empat dekade yang lalu. Kontras dengan kunjungan Raja Salman, kunjungan Raja Faisal ke Indonesia tahun 1970 dalam rombongan kecil. Mereka hanya tiga hari di Jakarta dan semata hanya bertemu Presiden Soeharto di Istana Kepresidenan. Gampang dipahami, kunjungan itu dilakukan sebelum Arab Saudi menjadi kaya raya akibat booming minyak.

Dari sisi Indonesia, kunjungan Raja Salman diharapkan memberi manfaat khususnya pada kerja sama perminyakan, gas dan pariwisata. Presiden Joko Widodo menyebut kunjungan Raja Salman merupakan hal yang bersejarah bagi Indonesia. Ia meyakini kunjungan itu akan memperkuat hubungan antara Indonesia dan Saudi Arabia.

Direncanakan kedua pemimpin negara juga akan menyaksikan penandatangan investasi Saudi Aramco untuk perluasan proyek kilang Cilacap senilai US$ 6 miliar dan beberapa kontrak lain senilai US$ 1 miliar. Mengutip Sekretaris Kabinet Pramono Anung diharapkan Arab Saudi akan menggelontorkan investasi hingga US$ 25 miliar. Sejauh ini belum ada konfirmasi dari Arab Saudi mengenai rencana tersebut.

Dingin
Meski menyandang predikat sebagai negara muslim terbesar di dunia, hubungan diplomatik Indonesia-Saudi relatif stagnan kecuali keberatan Indonesia terkait buruh migran dan kuota haji. Hampir semua Presiden Indonesia di masa pemerintahannya tanpa kecuali dipastikan menyempatkan diri berkunjung ke Saudi, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan terakhir Joko Widodo, dua tahun lalu.
Sebaliknya, setelah kunjungan Raja Faisal tahun 1970 tak satupun penerusnya baik itu Khalid bin Abdulaziz, Fahd bin Abdulaziz maupun Abdullah bin Abdulaziz  yang pernah menginjakkan kakinya di Jakarta.

Selama ini, bertahun-tahun hubungan bilateral hanya difasilitasi oleh Komisi Kerjasama Indonesia-Arab Saudi yang rutin bertemu dua tahun sekali di Jakarta atau Riyadh. Agenda utama komisi ini tak lebih dari mendiskusikan energi, pertanian, investasi dan masalah keamanan, terorisme, kejahatan transnasional, tenaga kerja migran, pendidikan dan urusan budaya.

Bocoran kabel diplomatik yang dirilis Wikileaks menyebut hubungan diplomatik Indonesia-Saudi tetap lemah, khususnya di forum-forum multilateral. Tahun 2008, Indonesia mengejutkan Arab Saudi ketika memilih abstain dalam Sidang Dewan Keamanan PBB terkait program nuklir Iran. Meski mengerti keprihatinan Arab Saudi tentang ancaman regional akibat nuklir Iran, Jakarta menolak membuat pernyataan publik terhadap program itu.

Di sektor investasi, menurut data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) tahun 2016 realisasi investasi Arab Saudi di Indonesia hanya menduduki peringkat ke-57 senilai US$ 900 ribu atau Rp 11,9 miliar. Jauh dibanding investasi dari negara Timur Tengah lainnya seperti Kuwait yang menginvestasikan hingga US$ 3,6 juta di Indonesia. Sedangkan lima besar investor di Indonesia tahun lalu adalah Singapura US$ 2,9 miliar, Jepang US$ 1,6 miliar, Hongkong US$ 500 juta, Cina US$ 500 juta dan Belanda US$ 300 juta.

Soft Power
Jika hubungan diplomatik tetap pada level ‘dingin’ pengaruh Arab Saudi pada masyarakat Indonesia berbanding 180 derajat. Secara umum Arab Saudi menikmati citra positif di masyarakat Indonesia. Jajak pendapat Pew Research Center menyebut 81 persen penduduk Indonesia memiliki persepsi positif pada Arab Saudi. Paling tinggi dibanding Cina 58 persen, Pakistan  58 persen, Iran  53 persen, InIa  63 persen dan AS dengan 37 persen.

Wikileaks menyebut  pada tahun 2007 saja, Arab Saudi mengeluarkan 600 ribu visa ke Indonesia. Jumlah itu 10 kali lebih banyak dibanding yang dikeluarkan AS untuk warga Indonesia. Meski mayoritas visa itu diperuntukkan bagi haji, umrah dan pekerja migran, sejumlah besar visa juga berlaku untuk pelajar. Angka itu meningkat pesat pada tahun-tahun berikutnya.

Selain hubungan langsung akibat arus konstan jamaah haji atau umrah, kelompok agama dan studi yang dibiayai Saudi sangat aktif beroperasi di Indonesia bahkan sejak dekade 80-an. Beberapa bahkan memiliki jaringan langsung ke kelompok radikal. Hampir mustahil menentukan dengan pasti jumlah uang itu. Pendanaan dan dukungan Saudi adalah penyumbang terbesar meningkatnya jumlah pesantren Salafi dari hanya beberapa gelintir di tahun 1980 menjadi ratusan hari ini.

Awal 1990-an, Yayasan Al-Sofwah Saudi mendukung pengkhotbah Salafi berkeliling Indonesia termasuk melalui The Saudi Salafi Internasional Islamic Relief Organization (IIRO). Aliran dana itu baru menyusut setelah tragedi 11 September 2001 akibat ketatnya kontrol sistem perbankan internasional. Tak benar-benar berhenti memang, Badan Intelijen Negara (BIN) mensinyalir beberapa individu Saudi masih konsisten mendanai kelompok-kelompok radikal di Indonesia melalui berbagai saluran.

Pengaruh pendekatan soft power melalui jalur kebudayaan dan pendidikan Iakui lebih banyak memberikan pengaruh dibanding hubungan bilateral. Saudi menggunakan pendekatan ini untuk menyebarkan Salafisme secara diam-diam.  Salafisme adalah gerakan reformasi ultra-konservatif yang menganjurkan Muslim kembali ke zaman Al-Quran.

Di Jakarta Kedubes Saudi adalah sponsor utama pendirian Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) tahun 1980. Lembaga ini adalah cabang Imam Muhammad ibn Saud Islamic University di Riyadh dan dikelola oleh warga Saudi. Selain LIPIA, jalur lain yang digunakan adalah tawaran beasiswa perguruan tinggi ke Saudi.

Radikalisasi
Ulil Abshar-Abdalla kepada VOA Indonesia menyebut atase agama di Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta adalah pusat dari usaha Saudi mempengaruhi kebudayaan Indonesia. Dari kantor itulah ditentukan pemberian beasiswa kepada mahasiswa yang akan belajar ke Arab Saudi. Ulil menyebut pengaruh dari soft power Arab Saudi pada warga Indonesia saat ini Indonesia sudah mulai terasa.

Ulil bercerita, kuliahnya selama enam bulan pertama di LIPIA adalah hadiah sebagai juara pertama pelajaran bahasa Arab di pesantrennya di Pati, Jawa Tengah. Tuntas belajar enam bulan, Ulil ditawari untuk kuliah enam bulan lagi. Tawaran itu diterima, begitu juga tawaran beasiswa untuk menyelesaikan S1 Syariah selama empat tahun. Tuntas lima tahun di LIPIA, belakangan Ulil menolak tawaran beasiswa ke Riyadh.

Pakar Salafisme Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Din Wahid menyebut kantor atase itu juga mengatur gaji kyai-kyai Salafi terkemuka termasuk guru-guru Bahasa Arab ke pesantren seluruh Indonesia. Din Wahid menambahkan meski secara resmi Salafi di Saudi tak pernah berpolitik karena bertanggung jawab untuk mempertahankan kekuasaan di negara asalnya. Ideologi itu memiliki dampak berbeda di Indonesia. Menurut Din, pemahaman Salafi di Indonesia berevolusi menjadi tiga aliran utama yakni sebagai tidak vokal, turut berpolitik dan jihadis.

Ada dua kategori dana dari Saudi, dana resmi untuk tujuan keagamaan dan pendidikan dan bantuan diam-diam yang mengalir kepada kelompok militan. Bantuan itu bagaimanapun berdampak mendalam bagi kelompok radikal. Dana itulah yang memungkinkan kelompok-kelompok itu bertahan hidup sekaligus menginspirasi orang lain melakukan perekrutan.

Contoh paling tepat dari peran ganda ini adalah sebuah badan amal Saudi bernama Yayasan Al Haramain. Lembaga ini secara resmi menandatangani kerja sama dengan Departemen Agama yang memungkinkan untuk membiayai lembaga pendidikan. Di sisi lain, yayasan itu juga memainkan peran untuk menyalurkan uang bagi Jemaah Islamiyah, organisasi teroris yang berniat membangun kekhalifahan di Asia Tenggara. Umar Faruq, anggota senior JI kepada CIA mengaku Al Haramain menyediakan uang bagi kelompoknya. Ditekan Washington pada tahun 2002, akhirnya pejabat Saudi menutup semua operasi Al Haramain di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Kondisi Indonesia tak berbeda dengan negara muslim lain di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia atau wilayah Filipina bagian selatan. Mantan diplomat Malaysia Dennis Ignatius menyebut ancaman soft power itu sebagai “Saudization” of Southeast Asia. Ia menyebut pemuda muslim Asia Tenggara dari Indonesia, Malaysia, Singapura atau Filipina, sangat bergairah bergabung dalam jihad di Suriah dan Irak. ISIS bahkan membentuk unit militer berbahasa Melayu dengan nama Katibah Nusantara Lid Daulah Islamiyyah.

Ia menuding satu-satunya penyebab ekstremisme di Asia Tenggara adalah ideologi Wahabi. Saudi Ianggap bertahun-tahun sebelumnya telah membangun kader terlatih, pengkhotbah dan guru untuk bertindak sebagai “kelompok-kelompok lobi untuk mengagitasi golongan Islamisasi lebih besar, menuntut pemberlakuan hukum Syariah, kontrol ketat kepada agama lain, dan bekerja di belakang layar mempengaruhi kebijakan resmi dan membentuk opini publik.”

Laporan Huffingtonpost memperkirakan Arab Saudi menghabiskan lebih dari US$ 100 miliar mempropagandakan ideologi itu ke berbagai negara-negara Muslim yang lebih miskin di seluruh dunia selama tiga dekade terakhir. Jumlah itu mungkin meningkat dua kali lipat saat ini. Sebagai perbandingan, Soviet menghabiskan sekira US$ 7 miliar untuk menyebarkan komunisme ke seluruh dunia sejak tahun 1921 hingga tahun 1991.

Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew juga menunjuk Arab Saudi sebagai “ratu lebah” yang mengembangbiakkan terorisme di Asia. Lee menyebut, muslim di Asia Tenggara yang secara tradisional beraliran moderat dan toleran semenjak dibanjiri petrodolar Wahhabi mulai mengekspor “agama berbisa” melalui ribuan masjid dan madrasah-madrasah radikal di Asia Selatan dan Asia Tenggara. [Teguh Usia]