Koran Sulindo – Sudah sejak tahun lalu, banyak perusahaan farmasi meminta perhatian soal tunggakan BPJS Kesehatan. Bila digabungkan, menurut data Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mutakhir, jumlah tunggakan itu mencapai Rp 3,6 triliun.
Pada November 2018 lalu, Ketua Umum GP Farmasi Tirto Kusnadi bahkan mengatakan, total tunggakan BPJS Kesehatan mencapai Rp 7 triliun. “Total tunggakan BPJS Kesehatan ke perusahaan farmasi yang belum dibayarkan Rp 6-Rp 7 triliun dan yang dibayar baru sekitar 6 persen,” kata Tirto Kusnadi, 17 November 2018 lalu.
Memang, perusahaan farmasi tidak menjual langsung obat ke BPJS. Namun, ketika BPJS Kesehatan menunggak pembayaran ke pihak rumah sakit, dampaknya rumah sakit sebagai pihak penerima/pembeli obat sulit membeli kebutuhan obatnya ke perusahaan farmasi.
Padahal, pelayanan kesehatan ke masyarakat sangat besar, sehingga otomatis kebutuhan obat juga tinggi. Tentu saja, layanan itu tidak bisa terpenuhi ketika produksi obat terhenti akibat bahan baku tidak terbeli.
Sementara itu, pihak rumah sakit lebih mendahulukan pembayaran tenaga medis, konsumsi pasien, dan sebaginya. Pembayaran obat pun menjadi prioritas yang kesekian, sehingga akhirnya pihak rumah sakit menunggak.
Soal tunggakan itu pula yang membuat pihak GP Farmasi akhirnya menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (30/1). “Kami menyampaikan keluhan-keluhan dari anggota GP Farmasi soal penjualan-penjualan ke rumah sakit masih banyak yang belum terbayar dan ini nilainya cukup besar, sehingga akan mengangggu pertumbuhan dan perkembangan industri farmasi,” kata Tirto Kusnadi setelah bertemu Jusuf Kalla, yang juga mengungkapkan ada rumah sakit yang menunggak 60 hari hingga 120 hari dihitung dari masa jatuh tempo utang.
Jusuf Kalla, menurut Tirto, mengatakan pemerintah akan mencarikan jalan keluar dari permasalahan tersebut. “Pak Jusuf Kalla menurut kami, ya, bisa menampung apa yang kami sampaikan,” ujar Tirto lagi.
Ia optimistis pemerintah bisa menangani masalah ini segera. Dengan demikian industri farmasi di Indonesia bisa tetap stabil.
Bukan hanya pihak farmasi, pihak rumah sakit pun kerap mengeluhkan soal tagihan yang belum dibayarkan BPJS Kesehatan. Jumlahnya, menurut data Kementerian Kesehatan hingga 30 November 2018, mencapai Rp 1,72 triliun. Total tagihan tersebut berasal dari rawat jalan sebesar Rp 471,26 miliar; rawat inap sebesar Rp 1,18 triliun; obat Rp 66,97 miliar, dan; alat luar paket Rp 5,37 miliar.
Untuk mengatasi masalah ini, pihak BPJS Kesehatan pun membuat solusi dengan skema anjak piutang atau supply chain financing. Jadi, bank akan menalangi terlebih dulu tagihan dari rekanan rumah sakit BPJS Kesehatan.
Skema itu akan membuat BPJS Kesehatan terhindar dari denda yang harus ditanggung karena telat bayar tagihan. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, BPJS Kesehatan sudah kerja sama dengan belasan bank untuk skema anjak piutang tersebut.
“Denda BPJS ini lebih besar daripada bunga bank syariah yang kurang dari 1 persen. Kami mencari jalan keluar jangan sampai ada masalah, rumah sakit berhenti sehingga tidak ada penyelesaian layanan,” kata Fahmi Idris dalam rapat dengan Komisi IX DPR di Jakarta, 11 Desember 2018 lalu. [PUR]