Koran Sulindo – Setelah dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan dengan memerintahkan aparat keamanannya membunuhi pengedar dan pemakai narkotika, Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga dituduh sebagai diktator. Selanjutnya, ia juga dituduh membawa Filipina semakin korup.
Tuduhan itu bukannya tanpa sebab. Berdasarkan indeks korupsi, Filipina menempati posisi 114 dari 180 negara terkorup versi Tranparency International pada 2017. Indeks korupsi Filipina dianggap merosot di bawah Duterte jika dibandingkan 2010 dan 2015. Akan tetapi, kita mesti berhati-hati membaca data tersebut.
Salah satu alasan agar hati-hati membaca data tersebut karena berdasarkan survei yang dilakukan lembaga lain hasilnya sangat berbeda. Kemudian, hasil survei justru berdasarkan pada pemerintahan sebelumnya, bukan ketika Duterte berkuasa. Berdasarkan survei Gallup seperti yang dilapokan Forbes, kehidupan rakyat Filipina di bawah Duterte lebih baik ketimbang dua tahun lalu.
Jumlah masyarakat yang menganggap perkembangan di bawah Duterte lebih baik mencapai 28% pada 2017. Sementara pada tahun sebelumnya hanya 26%. Kemudian berdasarkan prospek ekonomi Bank Dunia Filipina termasuk 10 negara dunia dengan pertumbuhan ekonomi tercepat pada 2017.
Itu sebabnya, dalam sebuah konferensi pers dengan wartawan termasuk wartawan AS, Duterte menolak disebut sebagai pelanggar hak asasi manusia jika dikaitkan dengan kebijakannya membunuhi pengedar dan pemakai narkotika di negaranya. Jumlah yang yewas diperkirakan lebih dari 5.000 orang.
“Apa bedanya antara Filipina dan AS? Kalian menuduh saya hipokrit (munafik), kalian yang hipokrit. Jangan ajari saya tentang rakyat saya. Apa dasar moralnya ketika AS berbicara HAM?” kata Duterte dengan nada meninggi.
Di samping itu, Duterte juga dianggap sebagai pemimpin yang suka ceplas-ceplos. Laporan sunstar.com pada 20 Februari lalu, ia sempat melontarkan pernyataan yang tak umum: “seharusnya Filipina menjadi salah satu provinsi dari Tiongkok.” Kendati mengaku bercanda, pernyataannya itu lantas memicu pro dan kontra.
Anggota parlemen dari oposisi Magdaldo Gary Alejano, misalnya, mengatakan, pernyataan tersebut sama sekali tidak lucu dan tidak dapat diterima. Itu lelucon yang tak bertanggung jawab dan menjadi “tamparan” bagi warga Filipina termasuk tentara yang ditempatkan di pulau-pulau yang berbatasan Tiongkok.
“Itu sudah menjadi kebiasaan presiden dan lelucon itu menggambarkan pengabdiannya yang sengaja mengorbankan kedaulatan kita,” kata Alejano.
Kritik yang serupa berasal dari Tom Villarin. Ia mengatakan, lelucon itu merupakan gambaran sikap mengalah Duterte terhadap tindakan agresif Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan. Duterte hanya berani bersikap keras kepada oposisi dan rakyat miskin. Tapi, dengan Tiongkok ia justru terlalu “berani” menyatakan sebaiknya Filipina menjadi salah satu provinsi negeri tirai bambu itu.
Sikap Duterte tersebut lantas mengkhawatirkan rakyat Filipina. Mereka menduga sikap leluconnya jangan-jangan adalah kebenaran. Di sisi lain, Duterte berjanji akan menjaga kedaaulatan dan wilayah teritorial Filipina. [KRG]