Didalam TiJe non-BRT, ditengah kemacetan. (foto: dokumentasi pribadi penulis)

Beberapa hari ini media disibukkan dengan berita mengenai tingkat polusi udara di beberapa kota di Indonesia. Presiden kita juga dikabarkan sedang batuk panjang yang kemungkinan juga dikarenakan polusi udara di Jakarta. Pengaruh polusi udara sama seperti wabah hispa covid memang tidak memandang status sosial, wilayah cakupan nya bisa sangat luas dan bisa masuk ke dalam semua ruang rumah, kantor dan kendaraan.

Tuduhan penyebab polusi saat ini diarahkan kepada sektor transportasi secara umum. Beberapa pejabat bahkan mengeluarkan statement yang mengarah kepada sektor transportasi terutama penggunaan kendaraan pribadi sebagai salah satu faktor utama peningkatan polusi.

Apabila diamati lebih seksama, memang kendaraan dengan motor bahan bakar minyak bumi menghasilkan gas buang yang berpotensi menjadi polutan udara. Tetapi ruang udara bumi seharusnya cukup luas untuk melarutkan polutan tersebut. Tetapi apa yang terjadi mungkin karena banyaknya kendaraan yang bersama sama mengeluarkan asap dalam kemacetan sehingga terjadi penumpukan gas sisa pembakaran bbm.

Semua mesin motor bakar mempunyai efisiensi pembakaran yang tinggi pada putaran mesin agak tinggi dan efisiensi rendah pada putaran mesin rendah. Efisiensi rendah berarti lebih banyak bbm yang dibakar untuk menghasilkan energi yang rendah apalagi kendaran dalam kondisi macet. Mungkin sebaiknya kendaraan pribadi ditinggalkan di rumah atau fasilitas park and ride, dan penumpangnya menggunakan angkutan umum yang sudah dingin berAC ke tempat tujuannya.

Setelah turun kemudian berjalan kaki menuju tempat tujuan. Di sini ada masalah kecil yang timbul, yaitu pada pagi hari petugas menyapu jalur pejalan kaki padahal dalam kondisi kering dan panas, debu yang disapu justru melayang dan seringkali masuk hidung atau mata. Timbul pertanyaan, kemungkinan ada partikel debu yang juga berasal dari pekerjaan konstruksi, dari permukaan jalan yang kering dan dilewati kendaraan.

Dalam kondisi cuaca yang panas dan kurang hujan seperti sekarang, banyak partikel debu yang beterbangan dari berbagai permukaan jalanan, bangunan, kendaraan, pekerjaan konstruksi yang terakumulasi di udara sekitar kita. Nampaknya inilah yang terdeteksi oleh sistem monitoring udara sehingga mencatat tingkat polusi yang tinggi.

Kota yang masih sering terkena kemacetan seperti kota Tangerang Selatan sudah berencana mulai dengan melakukan penyiraman di berbagai lokasi konstruksi untuk mengurangi debu yang berterbangan, semoga dampaknya akan cukup mengurangi polusi sambil memikirkan cara untuk membangun angkutan umum yang nyaman.

Emir Riza – Pengamat Teknologi Transportasi