Transisi ke Energi Baru Dibawah Kontrol G7

Agenda transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT) telah lama di canangkan oleh negara-negara maju yang tergabung dalam G7. Melalui pertemuan COP 21 tahun 2015 di kota Paris, didesakkan pengakuan Paris Agreement sebagai perjanjian mengikat yang kemudian diadopsi oleh 196 negara di dunia.

Tema utama perjanjian Paris adalah menghambat laju perubahan iklim dan pemanasan global. Dengan melakukan kontrol atas emisi gas rumah kaca, diharapkan suhu global tidak meningkat melebihi 1,5 derajat Celsius hingga tahun 2030.

Salah satu agenda untuk mengatasi emisi gas rumah kaca adalah mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan secara global. Berbagai skema pendukung juga di ciptakan seperti perdagangan karbon, pendanaan hijau dan lain sebagainya.

Sebagai ‘imbal balik’ kesepakatan ini, negara-negara maju berjanji memberikan pendanaan, dukungan teknologi juga peningkatan kapasitas sumber daya manusia agar skema dapat berjalan dengan lancar di bawah kontrol dari negara-negara maju tersebut.

Kontrol kebijakan energi

Transisi energi global yang sangat bergantung pada teknologi dan pendanaan menempatkan negara-negara G7 pada pusat kendali energi dunia dengan kemampuan finansial dan teknologi mereka yang besar.

Misalnya saja, pada pertemuan puncak para menteri energi dan iklim negara G7 di Berlin pada Mei 2022 ini, mereka menyatakan akan menghentikan sebagian besar pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil pada tahun 2035. Pernyataan itu disepakati oleh Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Jepang, Kanada, dan AS – pada akhir pertemuan puncak tiga hari di Berlin.

Jerman, yang merupakan ketua G7 saat ini, bersikeras bahwa menemukan bahan bakar fosil alternatif tidak akan dilakukan dengan mengorbankan tujuan lingkungan.

Sejak berkuasa pada bulan Desember, pemerintah koalisi Jerman berjanji untuk memajukan rencana penghapusan batu bara negara itu sendiri selama delapan tahun hingga 2030 dan telah mendorong negara-negara G7 lainnya untuk memajukan rencana mereka.

Para menteri G7 membuat komitmen pertama mereka untuk berhenti mengoperasikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi gas rumah kaca global.

Dalam komunike bersama, mereka sepakat untuk “berkomitmen lebih lanjut untuk tujuan mencapai sektor listrik tanpa karbon pada tahun 2035,” yang mencakup “langkah-langkah konkret dan tepat waktu menuju tujuan penghentian pembangkit listrik batu bara domestik yang akhirnya dihentikan.”

Para menteri mengatakan mereka akan meningkatkan target mereka berkaitan dengan energi terbarukan dan “dengan cepat meningkatkan teknologi dan kebijakan yang diperlukan untuk transisi energi bersih.”

Apa lagi yang mereka lakukan?

Negara G7 untuk pertama kalinya, setuju untuk mengakhiri pembiayaan proyek bahan bakar fosil di luar negeri pada akhir tahun ini. Penghentian ini berlaku dengan beberapa pengecualian seperti untuk kepentingan keamanan nasional.

Mereka juga mengakui untuk pertama kalinya bahwa subsidi bahan bakar fosil tidak lagi sesuai dengan tujuan Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim. Para menteri G7 mengatakan mereka akan mengakhiri subsidi untuk bahan bakar yang sangat berpolusi pada tahun 2025.

Negara G7 juga menjanjikan dukungan bagi negara-negara rentan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Mereka berjanji untuk meningkatkan pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang pada tahun 2025.

Untuk itu para menteri negara G7 kemudian meminta bank-bank pembangunan dunia untuk menyerahkan rencana mereka tepat waktu untuk KTT iklim PBB COP27 di Sharm El-Sheikh, Mesir, pada bulan November.

Agenda terdekat

Sebagai tindak lanjut pertemuan disepakati beberapa agenda di antaranya memperluas penggunaan kendaraan tanpa emisi, dekarbonisasi industri dan kerja sama proyek hidrogen hijau.

Untuk sektor transportasi mereka berkomitmen untuk mengubah sektor transportasi pada tahun 2030 dengan meningkatkan penggunaan kendaraan tanpa emisi. Selain itu di bidang industri akan dilakukan transisi ke energi rendah karbon khususnya di sektor baja dan semen.

Selain itu pengembangan energi baru juga dilakukan dengan meningkatkan kerja sama dalam proyek hidrogen hijau dan menekankan perlindungan keanekaragaman hayati, lautan, dan memerangi sampa plastik.

Menteri Ekonomi dan Iklim Jerman Robert Habeck mengatakan perjanjian itu akan mengirimkan “sinyal kuat” tentang kebutuhan mendesak untuk melindungi iklim.

“Tidak ada seorang pun di sini yang perlu meyakinkan diri mereka sendiri bahwa kami bangga sebagai pelopor perlindungan iklim. Tapi kami mencoba mengejar apa yang tidak berjalan cukup baik di masa lalu – begitu juga dengan kasus pendanaan iklim.”

Dengan semakin meningkatnya desakan dari negara G7 untuk melakukan transformasi energi global dengan lebih cepat maka dapat berdampak pada kedaulatan energi negara-negara berkembang. Selama ini negara berkembang masih bergantung pada batu bara dan minyak bumi sebagai sumber energi terbesar, termasuk Indonesia.

Meski Indonesia memiliki roadmap mengenai transisi energi menuju EBT, tanpa pengembangan teknologi secara cepat dan pendanaan memadai Indonesia akan semakin bergantung pada impor teknologi dan peralatan. Dampak terbesar yang dikhawatirkan adalah hilangnya kedaulatan energi dan meningkatnya biaya energi secara signifikan. [PTM]