Lukisan yang menceritakan peristiwa di Karbala. (sumber: Wikipedia)
Lukisan yang menceritakan peristiwa di Karbala. (sumber: Wikipedia)

Peristiwa berdarah yang terjadi di padang Karbala pada tahun 680 M bukan hanya menorehkan luka mendalam dalam sejarah Islam, tetapi juga berdampak langsung terhadap pelaksanaan ibadah haji pada masa itu. Tragedi pembantaian cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali, bersama keluarga dan pengikutnya, menyisakan luka historis yang masih dikenang hingga kini, terutama oleh komunitas Muslim Syiah.

Tragedi itu terjadi pada 10 Muharram 61 H, sebuah hari yang kemudian dikenal sebagai Hari Asyura. Husain bin Ali, yang menolak membaiat Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah, memilih untuk meninggalkan Madinah menuju Kufah menyusul undangan dari penduduk kota tersebut. Namun, langkah politik dan spiritual itu berujung pada peristiwa tragis: pasukan Umayyah menghadang dan mengepung rombongan Husain di padang Karbala.

Dalam pengepungan selama beberapa hari, akses air Sungai Eufrat ditutup. Di bawah terik padang pasir, para pengikut Husain kehausan, termasuk anak-anak. Hingga akhirnya, pada hari ke-10, Husain dan seluruh pasukannya—sekitar 72 orang—gugur satu per satu. Tubuh-tubuh mereka tercabik, sementara kepala-kepala mereka dibawa ke Damaskus untuk dilaporkan kepada Khalifah Yazid.

Dampak tragedi ini terasa luas, bahkan menyentuh aspek ibadah umat Islam yang paling sakral: haji. Menurut sejumlah catatan sejarah, ketegangan politik dan ketakutan terhadap kekerasan membuat sebagian Muslim menghindari perjalanan ke Mekah pada musim haji tahun itu.

Sejarawan Muslim awal seperti Abu Mikhnaf dan al-Tabari mencatat bahwa sebagian besar pengikut Ali dan masyarakat Hijaz merasa kehilangan rasa aman untuk menunaikan haji setelah terbunuhnya Husain. Mekah, sebagai pusat ibadah dan kekuasaan, berubah menjadi arena konflik dan pengawasan ketat pasukan Umayyah. Beberapa kelompok bahkan dikabarkan memilih untuk tidak berhaji demi keselamatan jiwa.

Lebih jauh, tragedi Karbala memunculkan pergeseran makna ibadah dan spiritualitas dalam masyarakat Muslim, terutama di kalangan Syiah. Haji, yang semestinya menjadi simbol kesatuan umat, justru terasa ambigu karena kehadiran penguasa zalim di tengah prosesi suci itu. Husain, yang dianggap simbol perlawanan terhadap tirani, menghadirkan dilema moral: apakah mungkin beribadah dengan khusyuk di bawah bayang-bayang kekuasaan yang menumpahkan darah keturunan Nabi?

Dari sinilah muncul tradisi ziarah ke Karbala—sebuah bentuk ibadah alternatif dan bentuk protes spiritual terhadap ketidakadilan. Hingga hari ini, jutaan peziarah dari berbagai penjuru dunia menghadiri peringatan Asyura dan Arba’in di makam Husain di Karbala, Irak. Bagi mereka, Karbala adalah “haji kaum tertindas”—sebuah pernyataan politik dan religius yang melampaui batas ritual formal.

Tragedi Karbala telah meninggalkan jejak panjang dalam sejarah Islam, bukan hanya dalam aspek teologi dan politik, tetapi juga dalam praktik keagamaan. Peristiwa ini membelah makna ibadah, menghidupkan kembali semangat perlawanan, dan menegaskan bahwa spiritualitas sejati tidak bisa dilepaskan dari keadilan. [IQT]