Seorang lelaki menggunakan busana perempuan sedang menaiki tali yang merupakan Seni Lais (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)
Seorang lelaki menggunakan busana perempuan sedang menaiki tali yang merupakan Seni Lais (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Di Kabupaten Garut, terdapat sebuah kesenian unik yang menyerupai atraksi sirkus dan dilakukan secara tradisional. Kesenian ini merupakan warisan budaya turun-temurun yang dikenal dengan nama tradisi Lais.

Tradisi Lais melibatkan atraksi di atas ketinggian dengan tali yang diikatkan pada dua batang bambu yang menjulang tinggi. Yang membuatnya semakin menantang adalah pelaku atraksi ini tidak menggunakan alat pengaman tubuh.

Meskipun berbahaya, tradisi ini tetap bertahan dan dipertontonkan kepada masyarakat di Kabupaten Garut pada momen-momen tertentu.

Dilansir dari gosipgarut.id asal usul tradisi Lais bermula dari keisengan seorang pemanjat kelapa bernama Laisan, seorang sesepuh di Kampung Nangka Pait, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut.

Laisan dikenal sebagai pemanjat kelapa yang handal dan kerap melakukan atraksi berbahaya dengan berpindah dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya tanpa menyentuh tanah.

Atraksi ini mulai dikenal pada masa Kolonial Belanda, di mana Laisan sering diminta untuk memetik buah kelapa, baik oleh masyarakat sekitar maupun tentara Belanda.

Seiring waktu, masyarakat setempat mulai menantikan penampilan Laisan, dan ketika ia memanjat pohon kelapa, mereka mengiringi dengan memukul benda-benda bebunyian.

Hingga kini, tradisi Lais terus dijaga sebagai bentuk penghormatan terhadap sesepuh Laisan dan untuk melestarikan budaya di Kampung Nangka Pait, Kabupaten Garut.

Dadang, seorang pelaku tradisi Lais dari Kecamatan Sukawening, menjelaskan bahwa filosofi dari tradisi ini adalah sebagai medium untuk melatih kekuatan fisik dan kemampuan menyatu dengan alam.

Masyarakat sekitar percaya bahwa kemampuan ini membantu mereka bersinergi dengan alam dan Tuhan. Selain itu, menurut Dadang, tradisi Lais juga berfungsi untuk melatih keyakinan diri.

Dalam tradisi ini, jika seseorang merasa ragu, mereka tidak boleh memaksakan diri untuk melakukannya. “Kalau ragu jangan dilakukan, intinya harus yakin dulu,” ujar Ade Dadang, yang juga merupakan Pimpinan Grup Panca Warna Medal Panglipur.

Menurut Wikipedia, Lais adalah kesenian yang menggabungkan dua budaya, yaitu budaya Sunda dan Jawa Timur. Hal ini terlihat dari banyaknya gerakan akrobatik yang mirip dengan akrobatik khas Reog Ponorogo, khususnya gerakan yang dinamakan Kucingan.

Kucingan mengisahkan seekor kucing yang diperankan oleh singo barong tanpa dadak merak, sedang mengejar tikus yang diperankan oleh Bujang Ganong karena telah mengganggu tidurnya. Namun, dalam tradisi Lais, tidak digunakan cerita Kucingan, seragam Reog, maupun topeng yang dapat menghalangi pandangan penari Lais.

Atraksi Lais dimulai dengan pelaku memanjat bambu, kemudian berpindah ke tali sambil menari-nari dan berputar di udara tanpa sabuk pengaman, dengan iringan musik reog dan terompet.

Di era modern ini, tradisi akrobatik khas Kabupaten Garut masih diminati, terutama di Padepokan Panca Warna Medal Panglipur. Ade Dadang, selaku pimpinan, terus berinovasi agar kesenian khas Garut ini tidak hilang.

Menurutnya, tradisi Lais memiliki potensi besar untuk menarik minat generasi muda, mengingat mereka cenderung menyukai tantangan. Tradisi Lais di Padepokan Panca Warna Medal Panglipur masih banyak diminati oleh kalangan muda karena dianggap mampu mengasah keberanian dan ketangkasan, dua aspek penting yang digemari oleh anak muda.

Dengan upaya terus menerus, tradisi Lais diharapkan tetap hidup dan berkembang, menjaga warisan budaya Kabupaten Garut yang kaya akan sejarah dan nilai-nilai luhur. [UN]