Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memilih menolak melaksanakan rekomendasi Ombudsman terkait polemik tes wawasan kebangsaan perlu alasan yang jelas. Ombudsman pun perlu merespon penolakan KPK tersebut.
“Apakah memang rekomendasi tidak sesuai dengan fakta, tidak sesuai peraturan perundang undangan, atau ada faktor yang lain,” kata Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad dalam keterangan persnya, Minggu (8/8).
Suparji juga mempertanyakan sikap KPK yang justru memberikan alasan lembaganya tidak bisa diintervensi. “Tetapi tak bisa juga menolak tanpa alasan dan argumentasi yang jelas. Maka KPK harus memberikan penjelasan mengapa terjadi keberatan, mengapa tidak dapat mengikuti rekomendasi tersebut,” papar Suparji.
Begitu juga, kata Suparji, mengapa KPK tidak transparan soal TWK jika merasa pihaknya berada di jalan yang benar. Sebab, hulu dari rekomendasi Ombudsman adalah TWK yang dinilai maladministrasi.
“Seharusnya jika memang benar, KPK sejak awal memberikan penjelasan kongkrit dan tidak menyisakan polemik di tengah masyarakat. Jangan kemudian tidak melaksanakan rekomendasi karena sudah merasa benar, akan tetapi tidak ada transparansi atas TWK itu,” ungkap Suparji.
“Terlebih ini menyangkut hak para pegawai yang diberhentikan karena tak lolos TWK,” sambungya.
Bila antara Ombudsman dan KPK ini tak ada jalan keluar, maka masyarakat akan semakin bingung. Lembaga mana yang harus didengarkan. Sebab, keberadaan keduanya dijamin undang-undang.
“Jangan sampai kerja lembaga negara yang dijamin oleh satu undang-undang menjadi tidak bermakna, antusiasme publik menunju rekomendasi tadi seperti tidak ada pengaruhnya,” ucap Suparji.
Kalau itu yang terjadi, tutur Suparji, semua menjadi dipertanyakan. Faktor apa yang menyebabkan rekomendasi tak dilaksanakan. Apakah faktor keengganan melaksanakan atau faktor ketidaktepatan rekomendasi.
“Pada sisi lain Ombudsman juga memperjelas rekomendasi, apakah sudah sesuai dengan ketentuan formil maupun material serta dibenarkan baik secara substansial, prosedur dan kewenangan,” kata dia.
Sementara, pernyataan Nurul Ghufron terkait legal standing pegawai KPK yang melapor kepada Ombudsman adalah penafsiran pribadi.
Pasalnya, bila membaca dengan cermat Undang-Undang tentang pelayanan publik jelas disebutkan semua warga negara punya hak menyampaikan komplain terhadap pelanggaran administrasi terhadap sektor layanan publik.
Seperti pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik dijelaskan bahwa ruang lingkup pelayanan publik tersebut meliputi barang maupun jasa publik serta layanan administratif.
Lebih rinci, pada Pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa ruang lingkup sebagaimana disebut ayat (1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
“Nah, isu yang kita laporkan ini terkait pelanggaran administratif dalam bidang pekerjaan yang konsekuensinya timbul terhadap 75 pegawai KPK yang sekarang jadi 57,” ujar Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK nonaktif Rasamala Aritonang dalam siaran persnya.
Sedangkan, penyidik KPK nonaktif Novel Baswedan menilai pimpinan KPK tidak punya niat untuk memperjuangkan pegawai setelah mengajukan surat keberatan terhadap laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman.
“Saya melihatnya semakin jauh dan suatu perkataan yang tidak ada faktanya sama sekali,” kata Novel dalam diskusi virtual yang dikutip redaksi.
Novel menilai, dari hasil pemeriksaan Ombudsman menggambarkan dengan terang benderang bahwa banyak permasalahan yang terjadi. Ada permasalahan serius soal integritas, masalah manipulasi di lembaga antikorupsi tentu aib yang besar sekali.
Pimpinan KPK, kata Novel, tidak mempermasalahkan integritas seperti yang ditunjukkan dalam temuan Ombudsman.
“Saya melihatnya pimpinan KPK kok tidak terganggu ya, ini sebetulnya adalah sesuatu hal yang sangat luar biasa bahkan justru pembelaan yang disampaikan pimpinan saya melihatnya kok malah seperti menghindar saja,” jelas Novel.
Novel pun lantas meminta pimpinan KPK mengingat bahwa lembaga rasuah itu bukanlah lembaga miliknya pribadi.
“Saya berharap kita semua mesti memahami bahwa lembaga antikorupsi, KPK, itu bukan miliknya Pak Firli dan kawan-kawannya itu melainkan milik negara, milik masyarakat,” beber dia.
Novel berharap bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh KPK yang diberikan mandat oleh negara untuk berbuat yang baik yang benar, seperti halnya proses TWK ini. Saat masalah integritas tidak dijadikan prioritas dan kejujuran diabaikan, menurut Novel, maka ada masalah yang tidak bisa dianggap sepele.
“Karena itu saya berharap temuan Ombudsman ini bisa dijadikan suatu telaah yang baik yang melihat bahwa upaya-upaya untuk menyingkirkan dan melemahkan KPK dengan cara begini harus dilihat sebagai hal yang serius,” beber dia.
Novel pun berharap, ke depan bisa mengetahui dengan lebih jelas siapa dibalik orang-orang yang punya kepentingan seperti yang diungkap Hotman Tambunan selaku perwakilan 75 orang pegawai KPK yang menyebutkan pimpinan KPK tidak memahami konsep pelayanan publik dalam TWK.
“Tampaknya pimpinan kurang paham konteks pelayanan publik dalam pelaksanaan TWK ini. Pimpinan hanya berkutat di tugas dan kewenangan, padahal di balik tugas dan kewenangan itu selalu ada unsur pelayanan publik,” kata Hotman dalam diskusi yang sama.
Yang dilaporkan oleh para pegawai ke Ombudsman, kata Hotman adalah rangkaian proses dalam TWK yang melibatkan berbagai layanan publik.
“Seperti harmonisasi peraturan itu adalah layanan publik Kementerian Hukum dan HAM, pelaksanaan asesmen adalah layanan publik Badan Kepegawaian Negara. Jadi, bukan hanya tindakan sempit seperti rotasi mutasi, urusan internal kepegawaian KPK seperti yang dijelaskan oleh Pak Nurul Ghufron,” jelas Hotman.
Sebaliknya, dugaan malaadministrasi dalam rangkaian proses itulah yang dilaporkan kepada Ombudsman RI. Ruang lingkup penyelidikan malaadministrasi Ombudsman RI, kata Hotman, sudah sesuai dengan UU No 37 tahun 2008 bahwa penyelidikan di area pelanggaran prosedur, kewenangan, pengabaian, inkompetensi dll, sedangkan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah keputusan atau tindakan administrasi.
“Apakah kami bisa melaporkan tindakan atau keputusan pimpinan ke pengadilan TUN terkait TWK ini? Bisa saja tetapi kami tidak melaporkan itu. Terus kenapa juga pimpinan menjadi galau jika kami tidak melaporkannya ke pengadilan TUN?” kata Hotman.
Hotman pun menyebut pimpinan KPK melupakan sejarah berdirinya KPK, yakni lembaga anti rasuah itu berdiri hanya karena desakan reformasi publik.”Pimpinan mengabaikan kaca mata publik ini yang mengakibatkan kepercayaan publik kepada KPK jauh merosot,” kata Hotman.
Apalagi pimpinan KPK disebut tidak melihat kesalahan membuat Perjanjian Kerjasama antara KPK dan BKN.
“Pimpinan lembaga penegak hukum merasa ini bukan suatu kesalahan. Aneh memang dan sampai dengan saat ini, MoU ini masih berlaku dan sama sekali belum pernah dicabut oleh KPK dan BKN. Jika MoU dianggap tidak berlaku, apa dasar, metode, cara kedua belah pihak dalam bekerja sama dalam pelaksanaan TWK ini?” tambah Hotman.
Pada intinya, perwakilan 75 orang pegawai KPK menilai bahwa pimpinan hanya berputar-mutar mencari-cari alasan sebagai pembenaran. “Kami perlu mengingatkan agar pimpinan jangan mutar-mutar, terlalu banyak mencari-cari alasan, merasa paling berkuasa kepada pegawai sehingga melanggar hukum pun untuk memberhentikan,” kata dia. [WIS]