Presiden Joko Widodo berdiri di dek KRI Imam Bonjol/Setpres - Krishadiyanto

Koran Sulindo – Agresivitas Tiongkok di Laut Natuna, wilayah perairan Indonesia memunculkan banyak pertanyaan. Selain karena wilayah itu kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas, sebagian orang meyakini ada sumber daya yang lebih penting yang diincar Tiongkok.

“Saya menduga ada sumber bahan nuklir di sana, uranium. Saya tak punya bukti tapi saya kira itu juga asalan mengapa Bung Karno begitu ngotot mempertahankan Natuna,” kata Sabam Sirait, politikus senior PDI Perjuangan saat ditemui wartawan Koran Sulindo di rumahnya, Jakarta, Sabtu [25/6].

Permasalahan Laut Natuna mencuat ketika pihak Angkatan Laut RI menerima laporan 12 kapal ikan asing yang diduga kapal nelayan Tiongkok mencuri ikan di wilayah perairan Natuna pada Jumat 17 Juni 2016. Berbekal informasi ini, kapal perang KRI Imam Bonjol mengejar kapal-kapal ini.

Namun, kapal ikan Tiongkok tersebut justru melarikan diri. Sesuai prosedur KRI Imam Bonjol mengeluarkan peringatan berupa imbauan hingga penembakan peringatan. Kapal itu tetap bergerak. Bahkan mengancam mau menabrak KRI Imam Bonjol.

Sempat terjadi kejar-kejaran. Salah satu kapal nelayan itu berhasil dihentikan. Kapal dengan nomor lambung 19038 itu dipastikan milik nelayan Tiongkok dengan jumlah anak buah kapal 7 orang. Mereka lalu ditangkap dan dibawa ke Lanal Ranai.

Pemerintah Tiongkok protes atas penembakan itu. Bahkan dalam peristiwa itu disebutkan seorang anak buah kapal nelayan Tiongkok terluka karena tembakan. Angkatan Laut membantahnya dan memastikan tidak ada yang tertembak dalam peristiwa itu.

Menanggapi protes pemerintah Tiongkok itu, Presiden Joko Widodo kemudian mengunjungi langsung wilayah perairan Laut Natuna. Menggunakan kapal perang KRI Imam Bonjol, Presiden Jokowi menggelar rapat terbatas kabinet. Dalam rapat itu Presiden mengeluarkan perintah: pertahankan kedaulatan dan jaga keamanan perairan Laut Natuna.

Sabam yang juga mantan anggota Komisi I DPR itu mendukung langkah Presiden. Menurutnya, kebijakan Presiden itu sudah tepat. Laut Natuna merupakan wilayah yang strategis. Namun, wilayah itu disebut tidak cukup strategis jika digunakan untuk “menguasai” Asia.

“Jika ingin kuasai Asia, semestinya Tiongkok tinggal mencaplok Singapura, misalnya. Tapi, ini mengapa Natuna? Makanya, saya yakin ada sesuatu di sana,” kata Sabam.

Ekspansi Tiongkok yang kian meningkat dan agresif sudah diperkirakan Sabam sejak awal. Bahkan Tiongkok disebut tidak mungkin menjadi sahabat bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggar. Itu mengingat kebutuhan Tiongkok akan sumber daya begitu besar. Sementara, negeri tirai bambu itu tidak memiliki cadangan sumber daya alam.

Karena itu, Sabam mengingatkan Presiden Jokowi soal jalinan hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Dalam menjalin hubungan itu, menurut Sabam, yang diutamakan adalah kepentingan negara ketimbang hubungan di bidang ekonomi.

Isu mengenai Laut Natuna ini yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok terjadi sejak 2009. Ketika itu Tiongkok menggambar 9 titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut Tiongkok Selatan dimana Pulau Natuna menjadi bagiannya. Dengan gambar itu Tiongkok lantas mengklaim pulau yang kaya akan gas alam itu masuk dalam wilayahnya.

Pemerintah Indonesia protes. Bahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono protes tersebut sudah disampaikan lewat  Komisi Landas Kontinen PBB. Kendati protes itu 5 tahun, PBB belum juga mengambil sikap atas aksi sepihak Tiongkok itu.

Setelah Presiden Jokowi berkuasa, dia menegaskan dengan keras, klaim Tiongkok terhadap Pulau Natuna sama sekali tidak memiliki dasar hukum. Sejauh ini Tiongkok bersengketa dengan Vietnam dan Filipina terkait dengan isu Laut Tiongkok Selatan. [Kristian Ginting]