Tinjauan Ganja sebagai Obat Medis

koransulindo.com – Apakah ganja sama dengan kratom? Pertanyaan ini mengemuka belakangan setelah Badan Narkotik Nasional (BNN) berencana melarang kratom pada 2023, karena kandungan zat adiktifnya empat kali lebih besar dari ganja. Namun, Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Sutarmidji tak setuju, dan untuk itu dia akan segera menulis surat penolakan ke Presiden.

Pasalnya, meski diakui kandungan zat adiktif kratom lebih besar dari ganja, namun zat ini tidak menyebabkan orang yang mengkonsumsinya berhalusinasi. “Bahkan, urin orang yang mengkonsumsi kratom belum tentu positif,” kata Sutarmidji. Sementara itu, orang yang mengonsumsi ganja sudah pasti berhalusinasi alias mabuk.

Lagi pula, jika puluhan juta pohon kratom ditebang, maka wilayah Betung Karibun dan Danau Sentarum di Kalbar yang sudah dijadikan paru-paru dunia oleh Unesco, akan menjadi gundul. Selain itu, di Kalbar terdapat 200-an ribu keluarga petani yang kehidupannya bergantung dari kratom. Di antaranya, sebanyak 115 ribu orang terdapat di Kapuas Hulu.

Soal kratom belum tuntas, malah muncul dorongan kuat menjadikan ganja sebagai obat medis. Apalagi, Komisi Obat Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan, melalui voting, penghapusan ganja dari daftar kategori obat paling berbahaya di dunia, dan mengizinkan ganja dimanfaatkan untuk keperluan medis.

Sebelumnya, pada Januari 2019 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membuat rekomendasi menghapus ganja dari Jadwal IV Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika, yang memasukkannya ke dalam daftar opioid berbahaya dan adiktif seperti heroin. Perubahan kategori ini mempermudah jalan industri medis menggunakan ganja untuk keperluan medis.

Dikutip dari laman PBB, Komisi Obat Narkotika PBB (CND) telah membuka pintu untuk mengenali potensi pengobatan dan terapi dari obat-obatan dengan bahan ganja yang umum digunakan. Sudah banyak obat dibuat berbahan ganja, tapi sebagian besar masih ilegal.

Selain itu, keputusan Komisi Obat Narkotika PBB tadi juga mendorong dilakukannya penelitian untuk mencari khasiat pengobatan ganja dan berfungsi sebagai katalisator bagi negara untuk melegalkannya. Tentunya ini dimaksud untuk kepentingan medis pula.

WHO mengklasifikasikan cannabidiol (CBD) sebagai senyawa tidak memabukkan, yang berperan penting dalam terapi kesehatan selama beberapa tahun terakhir. Penggunaan ganja dan produk turunannya seperti cannabidiol (CBD) dan senyawa non-intoxicating pun telah meningkat akhir-akhir ini.

Kini, sudah ada lebih dari 50 negara di dunia yang menggunakan ganja sebagai obat, di antaranya Kanada dan Uruguay. Bahkan, ada 15 negara bagian AS yang sudah melegalkannya untuk penggunaan rekreasi. Sementara, Meksiko dan Luksemburg akan segera menyusul melegalkan penggunaan ganja untuk rekreasi.

Di Barat, ganja sudah lama digunakan. Di India dan Iran, ganja sudah digunakan sebagai minuman memabukkan (bang) sejak seribu tahun sebelum Masehi. Minuman demikian baru diadopsi di Timur Tengah di kalangan muslim 1.800 tahun kemudian, dua abad setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Menurut Franz Rosenthal, baru pada akhir abad kesembilan penggunaan ganja sebagai minuman keras muncul. Disebut hashish, bukan bhang seperti di kalangan Hindu, ia pertama kali dikonsumsi oleh anggota sekte keagamaan di Persia dan Irak, di pinggiran timur yang berbatasan dengan stepa tengah tempat tanaman itu berasal.

Hanya sedikit terjadi pertentangan budaya pada awalnya karena al-Qur’an, yang merumuskan secara rinci semua aturan hidup muslim sehari-hari di Timur Tengah, tidak secara eksplisit melarang konsumsi ganja. Al-Qur’an secara eksplisit hanya melarang penggunaan minuman fermentasi.

Di abad kesembilan, jauh setelah berdirinya Kekhalifahan Abbasiyah yang megah di Baghdad pada 750 M, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Para sarjana Arab pun mulai menerjemahkan teks-teks Yunani karya Dioscorides dan Galen, dan menjadi akrab dengan khasiat obat ganja.

Seorang dokter dari awal abad ke-10, Ibnu Wahshiyyah, memperingatkan kemungkinan komplikasi akibat penggunaan ganja. Dalam bukunya, On Poisons, ia mengklaim bahwa ekstrak tumbuhan ini dapat menyebabkan kematian jika dicampur dengan obat lain.

Dokter lain, al-Razi kelahiran Persia, menasihati agar para dokter tidak melarang resep ganja, tapi diminta tidak berlebihan. Pedagang yang bepergian ke Persia dari India dan Asia Tengah juga mungkin telah menyebarkan pengetahuan tentang khasiat obat tanaman ganja.

Sekitar tahun 1000 M, Raja Fatimah al-Hakim dari Dinasti Fatimiyah, Mesir mengeluarkan dekrit yang melarang penjualan alkohol di seluruh Suriah dan Mesir. Tetapi, dalam dekritnya, dia tidak melarang secara eksplisit penggunaan ganja.

Pada abad ke-11, pasukan Seljuk asal Turki merebut Baghdad dan mengambil-alih kekuasaan, dengan tetap mempertahankan Bani Abbasiyah sebagai boneka. Penggunaan hashish menjadi populer di masyarakat di sana, dan sering disebutkan dalam literaturnya di puncak kekuasaan Seljuk.

Kini, perhatian dunia diberikan pada ganja karena sudah banyak penelitian membuktikan khasiatnya bagi keperluan medis. Di Indonesia, sejumlah warga telah memohon Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review atas Undang-Undang Narkotika yang melarang penggunaan ganja untuk keperluan apa pun, termasuk medis. [AT]