SEKRETARIS Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Indonesia Damos Dumoli Agusman sebelumnya mengatakan, perjanjian batas wilayah Indonesia dan Australia bisa dibicarakan ulang. Karena, kesepakatan batas wilayah Australia dan Timor Leste berkonsekuensi terhadap perubahan batas wilayah dengan Indonesia. “Perjanjian Perth tidak dapat berlaku seperti sekarang, antara lain yang mencakup wilayah yang sekarang milik Timor Leste dan obyek konsiliasi,” ujar Agusman kepada Fairfax Media juga.
Pada tahun 1997, Australia dan Indonesia melakukan pembicaraan yang dikenal sebagai Perjanjian Perth—meskipun Indonesia belum meratifikasi—dan menetapkan sebagian besar batas maritim kedua negara di titik median yang disepakati. Dengan adanya perjanjian itu, hak penangkapan ikan di Indonesia meluas lebih jauh ke selatan daripada hak dalam perjanjian tahun 1972. Begitu pula hak untuk menjelajahi dasar laut, yang diyakini memiliki kandungan minyak dan gas.
Rencananya, Presiden Joko Widodo akan melakukan pertemuan bilateral setengah jam dengan Perdana Menteri Malcolm Turnbull pada pertemuan puncak ASEAN-Australia di Sydney pada 17-18 Maret 2018 mendatang. Tapi, belum jelas apakah pertemuan kedua pemimpin itu akan membahas masalah batas maritim kedua negara atau tidak.
Bila Indonesia dapat meminta negosiasi ulang, Australia harus mengizinkan Indonesia mengklaim hak atas cadangan minyak dan gas di Laut Timor. Karena, batas laut di pertengahan antara Australia dan Timor Leste berimplikasi pada perbatasan Australia yang jauh lebih panjang dengan Indonesia. Dan, kemungkinan seperti ini telah lama dihindari oleh pemerintahan di Australia sebelumnya.
Pada tahun 2002, ketika Timor Leste merdeka, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer telah memperingatkan, penetapan ulang batas-batas maritim dengan Timor Leste akan berisiko “mengurai” ribuan kilometer perbatasan laut dengan Indonesia. “Batas-batas maritim kita dengan Indonesia mencakup ribuan kilometer. Itu masalah sangat besar bagi kita dan kita tidak ingin mau masuk dalam negosiasi ulang,” katanya.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1977, Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusamaatmadja menyatakan Australia telah merugikan Indonesia atas perundingan perbatasan pada tahun 1971. Itu sebabnya kemudian ada Perjanjian Perth pada tahun 1997, untuk menyepakati titik median sebagai penentu Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, sehingga hak penangkapan ikan nelayan Indonesia jauh lebih jauh ke selatan daripada hak atas kekayaan dasar laut (minyak dan gas). Tapi, pemerintah Indonesia belum pernah meratifikasi perjanjian tahun 1997, meski menyatakan menghargainya. [RAF]