Ilustrasi RUU/nusabali.com

Koran Sulindo – Setelah DPR mengesahkan 33 Rancangan Undang Undang (RUU) Prolegnas Prioritas 2021, pemerintah kini mewacanakan untuk melanjutkan pembahasan RUU Perampasan Aset yang sudah lama tertunda. Dalam dimensi urgensi yang berbeda, tampaknya RUU Perampasan Aset bakal diajukan pemerintah bersamaan dengan RUU ITE pada 2022 mendatang atau pertengahan 2021 ini.

RUU Perampasan Aset sudah diwacanakan setidaknya pada periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2012 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah merampungkan naskah akademiknya. Tahun 2016 RUU ini bahkan nyaris dibahas di DPR. Inisiator RUU ini adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Dalam sebuah acara diskusi, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pihaknya bersama Presiden Joko Widodo dan PPATK telah membahas urgensi RUU Perampasan Aset. Hasilnya adalah adanya keinginan pemerintah untuk melanjutkan kembali pembahasan RUU Perampasan Aset.

“Dalam waktu tidak lama, ada rencana pengesahan atau upaya untuk melanjutkan kembali Rancangan UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Ini kan tertunda,” kata Mahfud.

RUU Perampasan Aset tergolong RUU yang keras terkait upaya pemberantasan korupsi maupun tindak pidana yang terkait. Melalui RUU ini penegak hukum terbantu untuk menelusuri aset-aset dari hasil kejahatan dan merampasnya untuk negara.

Paradigma yang hendak dibangun adalah,  aset yang didapat dari kejahatan pidana seperti korupsi merupakan aset negara yang bisa dirampas. Mahfud memiliki ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan pentingnya RUU Perampasan Aset.

Ilustrasinya adalah adanya pelaku kejahatan yang telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana, namun aset yang telah disita malah dikembalikan kepada pelaku. Hal ini mengonfirmasi mengapa dalam perkara korupsi uang yang dikembalikan tidak sebanding dengan total kerugian negara yang timbul dari korupsinya.

“Karena itu, nanti kita akan melanjutkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ini. Dulu sudah masuk di DPR, di prolegnas tetapi enggak jadi, masuk, enggak jadi,” kata Mahfud, yang mengakui ilustrasi dari situasi tersebut terjadi dalam sejumlah kasus.

Urgensi RUU Perampasan Aset turut disampaikan oleh Wamenkumham Eddy OS Hiariej. Menurutnya Indonesia haruslah memiliki UU Perampasan Aset karena perintah dari Konvensi Antikorupsi PBB 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006.

Melalui RUU Perampasan Aset, negara bisa melakukan pelacakan dan menagih aset hasil kejahatan yang dilarikan keluar negeri. “Yang jelas, hingga saat ini Indonesia belum memiliki sejarah penyelamatan dan perampasan aset negara di luar negeri,” tutur Eddy Hiariej dalam kesempatan temu media belum lama ini.

Kepala PPATK, Dian Ediana Rae, mengonfirmasi pernyataan Mahfud bahwa Presiden Jokowi setuju untuk membahas lebih dalam lagi RUU Perampasan Aset. Bahkan, dia meyakini pemerintah memahami urgensi untuk mendorong DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset.

RUU Perampasan Aset, lanjut dia, berguna bukan hanya untuk memerangi korupsi yang masif terjadi di Indonesia tetapi efektif untuk menekan kejahatan perbankan, narkoba, terorisme, penebangan hutan maupun pasar modal.

“Kalau kita berhasil memberantas tindak pidana ekonomi secara efektif ini jelas akan membantu pertumbuhan ekonomi kita, membantu juga kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya,” kata Dian.

RUU Perampasan Aset mendapat dukungan bukan hanya dari kalangan akademisi, aktivis namun dari sejumlah fraksi di DPR. Nasdem, PPP dan PAN meyakini RUU ini memiliki dimensi memberikan efek jera terhadap pelaku maupun calon pelaku kejahatan.

Menariknya, tidak satupun fraksi di DPR yang mampu menjelaskan mengapa RUU ini malah tertunda nyaris 10 tahun. Secara logika, jika pemerintah dan DPR satu visi tentulah RUU Perampasan Aset ini layak menjadi prioritas.

Kemauan Politik
Sekalipun begitu, lambannya pembahasan RUU ini justru menandakan belum adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan DPR. Padahal RUU ini sudah disiapkan sejak 2008 kendati baru 2012 dijadikan RUU inisiatif pemerintah.

Dasar hukum untuk merampas aset hasil kejahatan di Indonesia sejauh ini hanya peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Perampasan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Lain.

Terdapat pula aturan lain berkaitan perampasan aset namun tidaklah cukup kuat dijadikan instrumen menyita dan merampas hasil kejahatan. Terlebih perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku dinyatakan terbukti di pengadilan. Padahal ketentuan ini memiliki kelemahan.

Misalnya bagaimana jika pelaku meninggal dunia namun belum diadili kendati terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa aset yang dimiliki diraih dari kejahatan. Atau bagaimana jika pelaku memilih untuk melarikan diri.

Ketentuan yang ada dalam UU Tipikor mengenai perampasan aset haruslah diakui pula belum memadai. Pelaku yang dinyatakan terbukti korupsi bisa memilih untuk tidak membayar uang pengganti dengan menjalani pidana badan yang tidak melebihi dari hukuman maksimal pidana pokok.

Dengan begitu, RUU Perampasan Aset bisa menjadi jawaban dari kasus-kasus yang membuat negara tidak leluasa merampas aset yang dicuri lantaran tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, atau sakit permanen.

Negara tidak mudah “diakali” oleh pelaku yang melakukan kejahatan baik dalam ekonomi maupun korupsi yang terjadi selama ini. Padahal uang yang dirampas dari kejahatan dapat menjadi sumber pemasukan negara dan membantu keuangan negara. [Erwin C. Sihombing]