Oleh Denny JA
Suluh Indonesia – Para tentara menghormati jenderalnya yang wafat dengan membunyikan bedil. Juga dengan menembakkan dentuman meriam.
Tapi para penulis menghormati guru sastrawan yang wafat dengan merenungkan karyanya. Juga dengan diskusi dan testimoni.
Maka tanggal 22 Agustus 2021, sehari setelah wafatnya Sang Maestro Budi Darma, perhimpunan penulis Satupena dan Hati Pena menyelenggarakan webinar.
Forum ini dihadiri seratus peserta, terdiri dari para sahabat dan murid Sang Maestro Budi Darma, juga para ahli, dan komunitas Satupena. Juga ada perserta tambahan yang mengikuti diskusi dari Youtube.
Selama tiga jam sharing pikiran dan pengalaman, kita pun memperoleh tiga kepingan sosok Budi Darma.
-000-
Pertama sosok Budi Darma yang diurai oleh akademisi Albertine Minderop. Pembicara ini guru besar sastra.
Albertine melihat Budi Darma selaku pengarang yang acapkali menulis kisah penuh ironi dan tragedi. Banyak cerpen dalam buku Orang-Orang Bloomington dipenuhi tokoh utama, “Aku,” yang acapkali gagal lagi, gagal lagi, gagal lagi dalam hidupnya.
Tergambar pikiran Budi Darma yang melihat manusia sebagai insan yang tak berdaya, yang penuh kontradiksi, bahkan niat jahat.
Albertine menemukan jejak dua sastrawan Amerika Serikat yang mewarnai karya Budi Darma: Nathaniel Howtorne (1804-1864). Juga jejak penyair Edgar Allan Poe (1809-1849).
Baca juga: Budi Darma, ‘Big Eyes’ dan Sastra Absurd
Jika kita eksplor penjelasan Albertine ini, kita pun sampai pada aliran sastra genre Dark Romanticism (1). Baik Nathaniel ataupun Allan Poe menjadi tokoh utama dalam aliran itu.
Ini genre yang memang banyak mengeksplor sisi gelap manusia. Motif batin yang negatif, liar dan ganjil tersekspresi liar dalam karya sastra genre tersebut.
Dark Romanticism kemudian mengantar pada aliran yang lebih gelap lagi: sastra absurdisme. Ini aliran sastra yang anti-hero.
Sebelumnya, apalagi dalam tradisi keagamaan, manusia digambarkan sebagai makhluk citra Tuhan, yang kuasa, berdaulat, penuh niat baik, mengekspresikan kasih dan sayang.
Sastra absurdisme menjadi antitesis atas gambaran itu. Manusia acapkali digambarkan sebagai makhluk yang ambigu, dengan kehendak yang cepat berubah, dan pikiran yang ganjil. Ia hidup dalam dunia yang tanpa tujuan. Chaos!
Citra manusia dalam karya Budi Darma banyak menggambarkan jejak Dark Romanticism dan Sastra Absurdisme itu.
Eka Budianta menggambarkan sosok Budi Darma yang kedua. Ia seorang guru yang berpikiran bebas tapi santun.
Ujar Eka, yang diperkuat banyak testimoni, betapa dalam pikirannya yang bebas, bahkan liar dalam imajinasi, tapi Budi Darma tumbuh menjadi pribadi yang santun.
Bahasanya dalam bertutur menggambarkan bahasa seorang guru, yang rendah hati, ingin membantu, membimbing.
Seburuk dan senaif apa pun pertanyaan mahasiswa, ia hargai. Budi Darma tetap merespon pertanyaan itu dengan jawaban yang mengajak merenung.
Penjelasan Eka, yang sangat akrab secara personal dengan Budi Darma, menambah kompleks persona sang maestro ini.
Siapa yang menduga? Di balik pribadi Budi Darma yang santun, rendah hati, tersimpan imajinasi seorang pengarang yang liar. Yang dalam cerpennya, novelnya, acapkali menggambarkan manusia yang aneh, berniat jahat, dan gagal.
Dalam webinar itu tergambar pula sosok Budi Darma yang ketiga. Walau karyanya gemilang, hidup Budi Darma begitu sederhana.
“Lihatlah rumahnya. Begitu sederhana. Bahkan rumah saya,” ujar murid Budi Darma, “lebih bagus.” Sementara sang murid pun merasa ia juga hidup sederhana.
Seorang pengarang hebat, di Indonesia, acapkali kekurangan secara ekonomi. Ini tak hanya menimpa Budi Darma. Kita juga mendengar kisah hidup penulis hebat lain seperti Hamsad Rangkuti. Juga banyak penulis hebat lainnya.
Karena itu, ujar Eka, salah satu cara menghormati Budi Darma, belilah bukunya. Namun ditimpali oleh Anick HT, yang menjadi co-moderator, bagaimana publik tergerak membeli? Di Internet tersedia begitu banyak cerpen Budi Darma yang bisa dibaca gratis?
Revolusi informasi menghasilkan kontradiksi bagi banyak penulis. Siapa saja bisa memposting karya siapa saja untuk dibaca secara gratis.
Akibatnya nilai ekonomi sebuah karya turun bebas. Mengapa harus membeli jika publik bisa membaca karya itu secara gratis, dengan cara yang sangat mudah pula?
Tak hanya sebuah puisi, atau sebuah cerpen, atau sebuah buku, bahkan film Hollywood 90 menit yang paling baru juga tersedia di Internet. Semua bisa ditonton gratis.
Ketika panitia Piala Oscar 2021 mengumumkan tujuh film nominasi terbaik, saya bahkan sudah menonton lima dari tujuh film itu dari Internet. Gratis!
Menyaksikan Webinar Satupena selama 3 jam, tiga sosok Budi Darma hadir di sana.
-000-
“Behind the scene,” di balik acara Webinar Satupena/Hatipena ini, juga ada kisah yang tak kalah menarik.
Kisah yang juga membuat saya terkejut.
Itu hari pertama saya secara aklamasi dipilih oleh sembilan formatur sebagai ketua umum Satupena (19 Agustus 2021). Saya langsung membuat sambutan dan mencanangkan tujuh Program Unggulan.
Satu dari tujuh Program Unggulan itu membuat program webinar dua mingguan. Webinar mengeksplorasi apa pun yang mengupdate para penulis. Review buku terbaru. Atau buku lama yang penting. Atau peristiwa yang perlu diketahui penulis.
Tanggal 21 Agustus di hari ketiga saya sebagai ketua umum, sudah saya bentuk empat tim kerja untuk empat Program Unggulan.
Setelah saya buatkan WAG untuk masing masing Tim Kerja itu, saya persilahkan mereka menyusun programnya sendiri. Saya hanya memberikan kisi-kisi.
Tim Kerja Webinar di tanggal 21 Agustus itu sudah menjalin komunikasi yang intens. WAG sudah dipenuhi teks saling merespon dan usul gagasan.
Personil tim itu adalah Akmal Nasery Basral, Anick HT, Teguh Santosa, Hendradjid, F Budi Hardiman, Elza Peldi Taher. Dibantu Satrio, Tami dan Bayu.
Saat itu, saya sudah dua hari bermalam di rumah sakit. Saya menemani putra sulung yang sedang terapi sakit empedu.
Di hari yang sama ketika Tim Kerja terbentuk, tanggal 21 Agustus, teks masuk di japri saya. “Bro Denny, mohon siap-siap memberi sambutan untuk webinar.”
Saya jawab: “OK. Kapan?” Jawabnya: “Besok!!!!”
“Ha?” respon saya. “Besok? Kok cepat sekali? Program ekspress?”
Sehari setelah itu tim kerja terbentuk, besoknya sudah tayang program perdana.
Topik sudah dipilih soal Budi Darma, maestro penulis yang wafat tanggal 21 Agustus, di hari Tim Kerja terbentuk.
Para pembicara, para sahabat dan murid Budi Darma di berbagai kota juga siap hadir. Ini akan menjadi reuni pertama komunitas di banyak kota di seputar Budi Darma tatap muka lewat Zoom Meeting.
Wah, ujar saya dalam hati. Ini gaya Quick Count.
Teks masuk di japri saya sekitar jam 22.00 malam. Malam itu juga saya minta orang rumah mengantarkan tiang segitiga untuk handphone. Saya akan merekam saja sambutan saya.
Saya tak bisa hadir langsung dalam acara webinar. Saya ingin fokus menemani anak saya di rumah sakit dulu.
Jam 22.30 malam itu, di malam Tim Kerja webinar terbentuk, tiang segitiga untuk HP sampai di rumah sakit.
Saya melihat seisi kamar di rumah sakit itu. Di sisi mana yang akan merekam sambutan saya.
Jam 23.30, setelah saya melihat anak saya lelap tidur, saya pun merekam diri saya sendiri, di pojok kamar rumah sakit.
Jadilah rekaman itu. Ia ikut ditayangkan dalam acara perdana webinar Satupena. Sekaligus juga ini acara perdana pengurus baru Satupena.
-000-
Sambil menemani anak saya di rumah sakit, saya mengikuti diskusi webinar dari rekaman Youtube. Durasi tiga jam itu saya menontonnya terputus-putus, empat kali.
Hari ini, subuh hari jam 5.00 saya terbangun. Suster datang memberikan briefing what next untuk anak saya.
Setelah suster pergi, lahirlah esai ini.
23 Agustus 2021
Catatan:
(1) Uraian tentang Dark Romanticism dalam sastra.
https://americanliterature.com/dark-romanticism-study-guide [AT/AG]