Catatan Cak AT:

Di zaman ketika integritas dianggap seperti sinyal WiFi —kadang kuat, kadang putus sendiri tanpa permisi— kita sering lupa bahwa integritas itu bukan sekadar kalimat manis yang dipasang di dinding ruang rapat. Tapi, integritas adalah napas panjang yang membuat seseorang tetap tegak ketika semua sorotan kamera dipadamkan.

Dalam tradisi Islam, kualitas ini antara lain disebut “amānah”. Salah satu sifat agung yang membuat seorang pemuda Mekkah bernama Muhammad dijuluki al-Amīn, bukan karena beliau pandai membuat slogan atau jago membungkus nasihat dengan analogi berlapis peribahasa, melainkan karena beliau tak pernah sekali pun mengkhianati titipan. Amanah, dalam warisan kenabian, bukan dekorasi; ia karakter.

Dalam khazanah Islam, konsep integritas memiliki tiga pilar utama: amānah, shidq, dan ‘adālah. Amānah adalah kemampuan menjaga kepercayaan, baik berupa titipan harta, jabatan, maupun tanggung jawab moral. Ini persis seperti firman Allah, “Sungguh, Allah memerintahkan kalian agar menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”* (Qs. an-Nisā’ 4:58).

Sementara shidq adalah kejujuran dalam perkataan dan konsistensi antara ucapan dan tindakan, yang oleh Nabi ditegaskan dalam sabda beliau, “Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga” (HR. Bukhari-Muslim).

Adapun ‘adālah adalah keteguhan menjaga keadilan dan integritas moral, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. al-Mā’idah 5:8: “Janganlah kebencian suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena ia lebih dekat kepada takwa.”

Tiga konsep ini saling menopang: amanah tanpa kejujuran adalah kebohongan yang disimpan, kejujuran tanpa amanah adalah kebenaran yang tak dapat dipercaya, dan keduanya tanpa keadilan hanya melahirkan kepura-puraan.

Sungguh, dalam hadits lain Nabi memperingatkan bahwa tanda orang munafik ada tiga: “Jika berkata, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika dipercaya, ia khianat” (HR. Bukhari-Muslim).

Dengan demikian, integritas dalam Islam bukan sekadar sifat baik, tetapi fondasi karakter yang menghubungkan seseorang dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan dirinya sendiri.