Koran Sulindo – Melalui mekanisme kerja sama antar-polisi (police to police/P to P), buron perkara hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra akhirnya berhasil diringkus. Ia ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Polisi Diraja Malaysia pada akhir Juli 2020 dan langsung diserahkan kepada tim yang dipimpin Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo untuk dibawa ke Indonesia.
Penangkapan tersebut menandai berakhirnya drama perburuan panjang terhadap sosok yang dijuluki “Joker” itu. Sedikitnya hanya tiga orang yang mengetahui operasi penangkapan yang dimulai pada 20 Juli lalu yaitu Presiden Joko Widodo, Kapolri Idham Aziz dan Kabareskrim Listyo Sigit.
Kabareskrim Listyo menyebut, operasi penangkapan Djoko Tjandra merupakan instruksi Presiden Jokowi buntut aksinya masuk-keluar Indonesia dengan status buron. Selain itu, perburuan Djoko Tjandra menjadi penting untuk institusi Polri yang tercoreng akibat kasus surat jalan palsu.
Tak lama setelah dipulangkan, Djoko Tjandra akhirnya dieksekusi jaksa di Lapas Salemba cabang Mabes Polri. Ia harus menjalani pidana dua tahun penjara dalam perkara Bank Bali. Djoko bahkan terancam dijerat kasus baru berkaitan aksinya mengurus Peninjauan Kembali (PK), merekam KTP elektronik (KTP-el), menembus sistem imigrasi, dan penyuapan di Indonesia.
Penangkapan Djoko Tjandra tidaklah cukup karena penegak hukum harus menggali dari mana sumber dana selama hidup dalam pelarian. Terlebih lagi, Kejaksaan sejatinya harus menjerat pihak lain dalam perkara Bank Bali.
Kasus Djoko Tjandra memang selalu menarik diperbincangkan. Untuk menjeratnya, jaksa sampai melakukan PK setelah upaya kasasi atas vonis bebas Djoko di PN Jaksel kandas.
Langkah penuntut umum tidak sia-sia karena Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis pidana 2 tahun penjara, denda Rp 15 juta dan mengembalikan hasil kejahatannya senilai Rp 546 miliar kepada negara.
Geger kasus Djoko Tjandra bermula dari skandal pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali (kini menjadi Bank Permata) pada 1999.
Bank Bali mengalami kendala untuk menagih utang ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim, Bank Umum Nasional milik mendiang Bob Hasan, dan Bank Tiara.
Total utang yang harus dibayarkan ketiga bank tersebut mencapai Rp 3 triliun. Upaya Bank Bali menagihnya selalu gagal. Terlebih lagi, ketiga bank itu menjadi “pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Dirut Bank Bali, Rudy Ramli, memutuskan menggunakan jasa PT Era Giat Prima (EGP) untuk melakukan penagihan. Duduk sebagai direktur adalah Djoko Tjandra. Sementara kursi Dirut diduduki Setya Novanto yang pada saat itu menjabat Wakil Bendahara Umum Partai Golkar.
Upaya Rudy Ramli berhasil. PT EGP mampu mencairkan utang. Pada Juni 1999, Bank Indonesia (BI) mengucurkan uang sebesar Rp904 miliar dari BDNI karena hanya BDNI yang masuk dalam penjaminan BPPN. Dari total utang yang cair, sebanyak Rp 546 miliar masuk ke rekening PT EGP sedangkan sisanya Rp 358 miliar masuk ke Bank Bali.
Belakangan terungkap upaya memuluskan penagihan utang Bank Bali dari BDNI merupakan konspirasi tingkat tinggi untuk kepentingan Pemilu 1999. Skandal ini menyeruak ke publik hingga DPR membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut.
Temuan pansus menunjukan PT EGP bisa mencairkan utang lantaran adanya intervensi dari seorang pejabat tinggi kala itu. Sebagian elite Golkar kala itu turut berperan dan diduga menerima aliran dana. Rudy Ramli bahkan sempat mengeluh mengapa aparat penegak hukum tidak mengejar elite Golkar yang bermain saat itu.
Dari sekian nama yang diduga terlibat, hanya Pande Lubis dan Syahril Sabirin yang mampu diseret ke meja hijau dan divonis masing-masing pidana empat dan tiga tahun penjara. Sedangkan Djoko Tjandra divonis bebas sampai ke tingkat kasasi.
Pertimbangan majelis hakim kasasi adalah perkara cessie merupakan ranah perdata bukan pidana. Namun Djoko Tjandra akhirnya terbukti melakukan tindak pidana setelah MA mengabulkan PK dari penuntut umum.
Adapun nama-nama yang disebut berkaitan dengan perkara Djoko Tjandra adalah, Erman Munzir (Mantan pejabat BI), Firman Soetjahja (Direktur Bank Bali), Setya Novanto (Direktur Utama PT EGP sekaligus Wakil Bendahara Partai Golkar), Pande Lubis (Mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN), dan Rudy Ramli (Mantan Direktur Utama Bank Bali).
Selanjutnya Syahril Sabirin (Gubernur BI), dan elite Partai Golkar pada saat itu seperti AA. Baramuli, Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Marimutu Manimaren, Firman Soetjahya, Rusli Suryadi, serta Bambang Subianto.
Apabila Djoko Tjandra sudah menyandang status buron selama lebih dari 10 tahun maka dalam periode itu pula nama-nama yang dinyatakan turut terlibat tidak tersentuh.
Dengan kata lain, skandal Bank Bali sejatinya perlu diusut tuntas, sementara penegak hukum seolah-olah hanya fokus kepada Djoko Tjandra. Maka momentum penangkapan Djoko harus dimaksimalkan Kejaksaan untuk menjerat pelaku lain terkait Bank Bali.
Sosok Istimewa
Djoko Tjandra bukan sembarang pengusaha. Ia sosok istimewa. Pengusaha properti yang cukup berpengaruh di medio 1990-an. Ia diketahui dekat dengan putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dan bersama-sama membangun Hotel Mulia, di kawasan Senayan.
Keistimewaan Djoko Tjandra ditunjukan dengan kelihaiannga menembus sistem imigrasi Indonesia, merekam KTP-el di Kantor Lurah Grogol Selatan, Jaksel, sebelum mendaftar PK atas PK dari jaksa yang dikabulkan MA tahun 2009 ke Pengadilan Negeri (PN) Jaksel pada 8 Juni 2020 yang lalu.
Bukan kali ini saja Djoko Tjandra menunjukan kelihaiannya. Pada 10 Juni 2009, ia melarikan diri ke Port Moresby, Papua Nugini (PNG), melalui Bandara Halim Perdana Kusuma. Tepatnya, sehari sebelum MA memutus PK yang diajukan penuntut umum.
Dari situasi tersebut, publik sudah bisa berspekulasi bahwa Djoko memiliki beking yang bisa membantunya lolos dari jeratan hukum di Indonesia daripada menjalani pidana badan selama 2 tahun penjara.
Adanya tiga jenderal polisi yang dicopot yakni Brigjen Prasetijo Utomo, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Nugroho Slamet Wibowo menguatkan asumsi bahwa Joker memiliki “kartu truf” yang bisa dikeluarkan untuk menggerakan aparat hukum kita.
Ketiga jenderal tersebut diduga berperan dalam menghapus nama Djoko Tjandra dalam daftar “red notice” interpol, dan memberi surat jalan Djoko Tjandra dengan jabatan sebagai konsultan di Bareskrim untuk berpergian dari Jakarta menuju Pontianak menggunakan pesawat tanggal 19-22 Juni 2020.
Kepergian Djoko Tjandra menuju Pontianak turut dikawal oleh jenderal polisi yang telah dicopot dan tengah menjalani pemeriksaan internal, dan tinggal menunggu waktu untuk dipidanakan dalam perkara berlapis.
Fakta tersebut turut menguatkan asumsi, kendati Djoko Tjandra diketahui telah menjadi warga negara PNG ia menetap di Malaysia. Kepergiannya menuju Pontianak menunjukan bahwa pintu masuk-keluar menuju Indonesia melalui Entikong.
Belakangan turut terungkap bahwa Jaksa Pinangki yang bertugas di Kejaksaan Agung (Kejagung) diperiksa oleh pengawas internal lantaran diketahui sempat bertemu dengan Anita Kolopaking, yang merupakan kuasa hukum Djoko Tjandra dan sekarang telah masuk dalam daftar cegah imigrasi untuk bepergian ke luar negeri dan menyandang status tersangka.
Jaksa Pinangki tidak diperiksa seorang diri, sebab Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jaksel Nanang Supriatna turut diketahui sempat bertemu dengan Anita Kolopaking.
Perkara Djoko Tjandra memang bukan sebatas kasus hukum namun terdapat pula muatan politisnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya nama-nama yang tidak tersentuh dan melenggangnya sosok Djoko Tjandra di Indonesia sekaligus mengurus segala bisnisnya.
Sekalipun begitu, publik pantas untuk bersikap optimistis bahwa kedaulatan hukum di Indonesia bisa ditegakan kendati aparatnya masih mencoleng integritas diri dan institusinya. [Erwin C. Sihombing]