Koran Sulindo – Komisi Pemilihan Umum dianggap bertindak diskriminatif dan berlaku tidak dengan hanya melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Demikian disampaikan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampauw dalam acara diskusi bertajuk ‘Carut Marut Pendaftaran Caleg’ yang diadakan Komunitas Pewarta Pemilu (KPP) bersama Bawaslu RI di Jakarta, Jumat (3/8).
Menurutnya, tidak ada laporan kepublik yang disampaikan KPU terkait adanya mantan napi kejahatan seksual, dan narkoba yang dipublikasi oleh KPU. “Kita nggak ada laporan apa-apa terhadap pelaku kekerasan anak dan bandar narkoba,” kata dia.
Ia menilai, aturan yang dibuat oleh KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Calon seharusnya membuat KPU lebih terbuka.
Sikap KPU yang cenderung tertutup ini pun sangat kontradiktif. Terlebih jika KPU meminta masyarakat untuk melakukan pelaporan terkait hal ini.
“Berapa orang mantan pelaku kekerasan pada anak dan bandar narkoba dalam bacaleg partai yang dikeluarkan kpu? Ini yang belum ada datanya,” kata dia.
Dirinya khawatir transparansi KPU akan menjadi beban masyarakat sebagai pemilih nantinya, jika hal ini dibiarkan begitu saja.
“Sebelum dia masuk dalam DCS, kan mestinya begitu aturannya. Karena penegak aturan (yang dibuat) KPU itu ya harusnya KPU itu sendiri,” kata Jeirry.
“Kalau KPU tidak melakukan ya bawaslu sebagai pengawas harus mengeluarkan datanya. Jadi masyarakat hanya memeriksa DCS yang sebelumbya telah dibersihkan KPU.”
KPU menerbitkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kota. Lembaga itu juga menyebut peraturan tentang bekas koruptor dilarang nyaleg itu bisa diberlakukan tanpa harus mendapat pengesahan Kementerian Hukum dan HAM.
Dari laman JDIH KPU aturan tersebut sudah diunggah sejak Sabtu sore dan dapat diunduh oleh masyarakat umum.
Aturan tersebut memicu keberatan banyak pihak dari berbagai pihak termasuk Badan Pengawas Pemilu.
Menurut anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, meski Bawaslu memiliki semangat melahirkan wakil rakyat yang bersih dan bebas dari para koruptor, semangat itu harus diwujudkan dengan tetap berpegang pada peraturan perundangan.
Selain itu, Bawaslu juga memiliki tugas untuk melindungi hak konstitusional warga negara.
“Sangat berbahaya jika penyelenggara pemilu melakukan pembatasan hak konstitusional warga negara. Pembatasan hak konstitusional akan berbahaya lantaran dapat menjadi penyalahgunaan kewenangan,” kata Ratna.
Konstitusi, kata Ratna dengan tegas hanya memberikan kewenangan pembatasan hak melalui UU sedangkan aturan larangan bekas napi nyaleg oleh KPU diatur dalam PKPU.
Menurutnya, langkah konkret memastikan calon legislatif bersih bebas dari koruptor Bawaslu bakal melakukan pendekatan kepada partai politik.
Hal itu dilakukan dalam rangka membangun komitmen moral sekaligus mendesak parpol agar tak mencalonkan bekas koruptor sebagai calon anggota legislatif. Kesadaran itulah yang sesungguhnya perlu dibangun oleh partai politik peserta pemilu.
Bawaslu sendiri, kata Ratna, telah mengagendakan pertemuan dengan partai politik peserta Pemilu meski belum merinci kapan waktu pertemuan tersebut.
“Sudah ada jadwal yang dibuat sesuai waktu yamg disetujui parpol, akan dimulai tanggal 3. Dilakukan dengan cara mengunjungi kantor parpol. Pasti akan diinfokan ya, parpol mana dan kapan,” kata dia. [SAE/TGU]