‘The Kite Runner’ Melampaui Perang dan Teror di Afghanistan

Khaled Hosseini dan novelnya The Kite Runner

Suluh Indonesia – Khaled Hosseini, warga Afghanistan yang sejak berusia 15 tahun tinggal di Amerika Serikat, baru-baru ini diwawancara CNN. Perhatian media pun tertuju pada pria Afghan pengarang novel “The Kite Runner” terbitan 2003, dua tahun setelah serangan 9/11 diikuti operasi AS berikutnya di Afghanistan.

Novel “The Kite Runner” yang telah diangkat ke layar lebar itu menunjukkan kepada pembaca di seluruh dunia sisi-sisi Afghanistan yang lain, yang melampaui perang dan teror.

Buku ini termasuk paling laris dan banyak dibaca orang di antara buku-buku novel yang pernah diterbitkan. Di situs web Goodread, sebanyak 2,6 juta orang memberikan peringkat pada buku tersebut, plus 79 ribuan review.

Jutaan orang terpikat oleh kisah Amir dan Hassan, dua anak laki-laki muda dari ujung yang berlawanan dari masyarakat yang hidupnya mengambil lintasan yang sangat berbeda setelah invasi Soviet.

Novel-novel karya Khaled Hosseini berikutnya, “A Thousand Splendid Suns” dan “And the Mountains Echoed,” juga berlatar setidaknya sebagian di Afghanistan, mencapai kesuksesan sama.

Ini menunjukkan betapa besar perhatian dunia terhadap kisah sesama mereka di negeri Afghanistan yang baru saja dikuasai kembali Taliban.

Perhatian dunia memang sekali lagi tertuju pada Afghanistan setelah pengambil-alihan yang menakjubkan oleh Taliban. Bagi Hosseini yang menyaksikan situasi yang terjadi selama seminggu terakhir, kondisi di tanah kelahirannya benar-benar memilukan.

Baca juga: GM: Penghargaan Sastra bukan Tujuan Utama Penulis

Khaled Hosseini, selain seorang novelis, juga dokter Amerika kelahiran Afghanistan. Meskipun dia meninggalkan tempat kelahirannya pada 1976, ikatannya dengan negara dan rakyatnya semakin dalam.

Penulis, yang datang bersama orang tuanya ke AS pada 1980 dan masih tinggal di California Utara itu menggambarkan peristiwa pengalihan kekuasaan di Afghanistan minggu lalu sebagai hari paling memilukan yang pernah dialami negara itu dalam beberapa dasawarsa.

“Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan Afghanistan,” katanya kepada CNN dalam sebuah wawancara telepon.

Dia mengkhawatirkan teman-teman dan keluarganya yang masih ada. Juga, orang-orang yang dia temui dalam perjalanan kembali ke negaranya, para pekerja kemanusiaan yang membantu para pengungsi, serta para aktivis yang vokal tentang hak asasi manusia.

Buku-buku Khaled memperkenalkan begitu banyak pembaca di seluruh dunia ke Afghanistan. Ditanya sejauh mana fiksi dapat menumbuhkan pemahaman tentang budaya suatu negara dan masyarakatnya, dia menjawab, “Inilah jendela ke dalamnya.”

Dia merasa sangat diberkati karena begitu banyak orang telah membaca buku-bukunya dan telah membentuk hubungan pribadi dengan penderitaan rakyat Afghanistan dan dengan Afghanistan sebagai tanah itu sendiri.

Dia hendak mengimbangi informasi sepihak, di mana selama bertahun-tahun Afghanistan terutama dikaitkan dengan Taliban, perang, terorisme, dan perdagangan narkoba. Dia berharap orang-orang memperoleh dari buku-bukunya pemahaman yang lebih bernuansa dan rumit tentang Afghanistan.

Selain Khaled, Afhganistan juga memiliki beberapa penulis terkenal. Di antaranya, Fariba Nawa, seorang jurnalis dan penulis buku hebat berjudul “Opium Nation: Child Brides, Drug Lords, and One Woman’s Journey Through Afghanistan.”

Buku memoar keluarga ini memberikan perspektif tentang perdagangan opium atau candu di Afghanistan. Ia juga memberikan perspektif banyak hal lainnya tentang Afghanistan selama 30 tahun terakhir atau lebih.

Bagi mereka yang ingin memahami tidak hanya sejarah Afghanistan tetapi juga pengalaman orang Afghanistan yang tinggal di pengasingan, Khaled merekomendasikan buku “West of Kabul, East of New York” karya Tamim Ansary. [Ahmadie Thaha]

Baca juga: