‘The Glory’: Cerminan Mengerikannya Perundungan di Korea Selatan

Ilustrasi perundungan.

DRAKOR atau drama Korea selalu menarik diperbincangkan. Seringnya para penulis membuka tabir pahit yang sering disembunyikan di bawah gemerlapnya negeri gingseng tersebut. Salah satunya adalah Drakor terbaru di layanan video streaming Netflix, yaitu The Glory yang sedang banyak dibicarakan termasuk di Indonesia.

The Glory mengangkat cerita tentang pembalasan dendam seorang perempuan yang menjadi korban perundungan atau bully yang sangat kejam di masa sekolah. Bukan hanya lewat kata-kata namun, The Glory memperlihatkan betapa mengerikannya perundungan dalam Drakor tersebut.

Mulai dari ditendang, dipukuli, dilecehkan hingga para perundung yang membakar kulit sang korban dengan alat catok rambut yang panas hingga membuat bekas luka bakar yang tak pernah hilang. Hal yang paling mengerikan selanjutnya peristiwa itu wali kelas ikut menutupi kasus ini hanya karena para tersangka berasal dari keluarga kaya raya.

Aksi pembalasan dendam dari Moon Dong Eun yang diperankan oleh aktris kenamaan Korea Selatan, Song Hye Kyo sangatlah apik. Meskipun ini Drakor thriller pertamanya sepanjang karir tetapi ia mampu memperlihatkan bahwa ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk membalas semua perbuatan para perundung.

The Glory merupakan karya penulis Kim Eun Sook yang setiap karyanya selalu menghasilkan hits luar biasa. Ia mendapat inspirasi menulis ini dari anak perempuannya yang duduk di bangku SMA. Anak tersebut bertanya pada ibunya Kim Eun Sook soal perundungan, ia bertanya apakah sang ibu akan terluka jika dirinya melakukan pemukulan kepada orang lain atau ia yang dipukuli sampai mati. Pertanyaan itu lantas membuat Kim Eun Sook kaget dan mencari tahu seberapa masifnya tindakan kekerasan di sekolah.

Dalam konferensi persnya, Kim Eun Sook mengatakan bahwa para korban dari perundungan hanya menginginkan maaf yang tulus dari pelaku. Ia mengatakan mereka atau korban hanya ingin mendapatkan kembali jati dirinya yang hilang akibat kekerasan yang melukai martabat dan kehormatan.

Di Korea Selatan sendiri masalah perundungan ini kerap mendapat perhatian publik internasional. Beberapa orang bahkan tidak menyangka bahwa di atas gemerlapnya segala industri hiburannya ternyata banyak menyimpan masalah yang sangat pelik.

Bisa dikatakan perundungan di sana sudah sangat mengakar bukan hanya dalam sekolah, namun juga mudah ditemukan di berbagai tempat seperti perkantoran hingga online. Contohnya saja ada salah satu idol perempuan yang mengakhiri hidupnya karena tidak tahan melihat ujaran kebencian yang selalu ia dapatkan dalam kolom komentar sosial medianya.

Baik idol maupun orang yang bekerja di industri hiburan lainnya selalu menjadi target utama dari hujatan-hujatan kebencian orang di Korea Selatan. Mayoritas mereka menganggap bahwa jika ada perilaku atau gaya hidup yang berbeda dari standar yang mereka tetapkan maka dianggap ‘wajar’ jika para komentator online tersebut melakukan ketikan jahat.

Maka oleh sebab itu The Glory membuka mata semua orang bahwa perundungan tersebut bukan hanya akan menimbulkan bekas luka fisik, namun juga mental atau psikis yang rasa traumanya tidak terkira. Korban yang tak bisa ‘speak up’ hingga orang-orang yang menjadi pelaku dengan bebas bisa berkeliaran menambah peliknya kasus nyata dari perundungan yang terjadi di Korea Selatan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat pada tahun 2020 ada sebanyak 119 laporan tentang perundungan terhadap anak. Sedangkan di tahun 2021 angkanya turun menjadi 53 kasus namun, ada sebanyak 168 kasus bullying di dunia maya atau sosial media. Angka yang tinggi ini didapati saat sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dilakukan secara daring akibat kasus Covid-19.

Tentu saja angka-angka di atas tidak menunjukkan angka yang sebenarnya karena ada di mana kasus perundungan tidak terungkap atau dilaporkan oleh korban.

Iklim budaya perundungan di Indonesia yang mayoritasnya dilakukan oleh anak di bawah umur ini mengindikasikan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Terlebih parahnya yang sering melakukan tindakan itu adalah tenaga pendidik sendiri.

Upaya pencegahan bisa dilakukan dalam cakupan kecil dahulu seperti keluarga. Namun, nyatanya juga sulit dilakukan karena yang diketahui kekerasan dalam rumah tangga khususnya kepada anak-anak juga sangat tinggi di Indonesia.

Longgarnya pengawasan dari pemerintah lagi-lagi menambah sulitnya penghentian kekerasan atau perundungan di masyarakat. Bahkan rumah saja tidak bisa menjamin seseorang aman dari bentuk kekerasan manapun. [NS]