Koran Sulindo – Kantor Urusan Agama (KUA) Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah, bukanlah tempat strategis untuk masuk berita ke halaman utama media massa. Letaknya yang jauh di luar jalur selatan lalu lintas Jakarta-Jogjakarta membuat tempat itu makin terpencil. Tapi bom yang menggunakan tabung gas 3 kg di tempat itu, pekan lalu, langsung memperkenalkan tempat terpencil itu.
Teroris di pelosok Jawa? Bisa ya, bisa tidak. Namun jika benar itu serangan teroris seperti yang dinyatakan polisi, nampaknya itu adalah jawaban bahwa mereka masih ada. Teroris masih bercokol hingga ke halaman belakang negara ini. Mereka menunjukkan eksistensinya.
Mulanya, setelah bom bunuh diri di dekat Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur Mei lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri menangkap sebanyak 36 terduga teroris di berbagai daerah pasca peristiwa teror bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu Mei lalu.
“Ada yang terkait bom Kampung Melayu, ada yang tidak terkait,” kata Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
Yang jelas, seluruhnya adalah sel-sel Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi pada ISIS yang berencana melakukan serangan teror. Sel yang terkait dengan Bahrun Naim itu sebagian pelaku serangan teror, sebagian hanya fasilitator buat yang mau berangkat ke Suriah.
Selain itu, sepanjang 2017 polisi juga menangkap total sekitar 100 tersangka teroris. Penangkapan dilakukan di berbagai penjuru tanah air, dari Medan, Jambi, Jakarta, Pandeglang, Bandung, Cianjur, Garut, Kendal, Temanggung, Malang, Surabaya, hingga Bima.
Penangkapan juga dilakukan terkait pencegahan sejumlah aksi teror. Di antaranya, kepolisian menangkap dua tersangka, Nasrul Hidayat dan Kurniawan di Bima, Nusa Tenggara Barat yang diduga “akan mengebom Mapolsek Wahom, Bima, pada 17 Juni 2017.
Selain itu, polisi juga menangkap Syafrizon, pada Rabu (07/06) di Serang, Banten, karena diduga akan meledakkan kantor kepolisian Banten “menggunakan bom yang dimasukkan dalam mobil.”
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto mengatakan dari penangkapan dan barang bukti yang dikumpulkan, memperlihatkan teroris belakangan ini tidak perlu dana besar untuk beraksi.
Bom panci bunuh diri yang dikenakan pelaku Ichwan Nurul Salam dan Ahmad Sukri itu telah mengakibatkan 16 orang korban. Sebanyak 5 di antaranya, termasuk dua pelaku, tewas di dalam Halte Kampung Melayu.
Bom Berjalan
Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan dalam soal terorisme ini, Indonesia ibarat bom berjalan yang bisa meledak sewaktu-waktu.
“Jangan sampai kebhinekaan Indonesia ini dimanfaatkan untuk memecah bela NKRI,” kata Syafruddin, pertengahan Juni lalu.
Menurut Syafruddin, potensi keberagaman dan kebhinekaan selalu memiliki kekuatan positif dan juga negatif jika tak dikelola dengan baik. Beruntung percobaan aksi militan ISIS melalui konflik yang pernah terjadi di Indonesia seperti Maluku, Poso dan Aceh bisa digagalkan.
“ISIS di Indonesia sudah menjalar,” kata Syafruddin yang menyebut konflik berdarah di Suriah sudah meluas ke aneka penjuru dunia dan menggerogoti wilayah Asia Tenggara, seperti yang terjadi di Marawi, Filipina.
Setelah ISIS kalah di Suriah dan Irak, banyak pendukungnya pulang kampung.
Direktorat Jenderal Imigrasi, berdasar rekomendasi dari Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menerima 234 orang nama dalam daftar pencarian orang (DPO) terkait terorisme.
“Yang terkait dengan ISIS terdapat 91 orang. Dari warga negara Aljazair ada 1 orang, Indonesia ada 83 orang, Kuwait 2 orang, Saudi Arabia 2 orang, Syria 1 orang, dan Turki 2 orang,” kata Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie, awal Juli lalu.
Sedang 143 orang terduga pelaku terorisme lain merupakan para pelaku terorisme non-ISIS. Mereka masuk kelompok teror yang tidak berhubungan dengan ISIS tetapi dengan luar negeri, misalnya berhubungan dengan jaringan teror Uighur.
Imigrasi terus memantau pergerakan para DPO apabila mau masuk wilayah Indonesia.
Sementara itu walaupun Polri mengakui belum ada orang dari nama-nama di atas sudah masuk Indonesia, namun mengakui ada puluhan yang sudah pulang. Salah satunya pria berinisial SP yang melakukan penyerangan terhadap polisi di Markas Polda Sumatera Utara, 25 Juni lalu.
“Dia pernah bertempur di Suriah beberapa tahun yang lalu,” kata Setyo, akhir Juni lalu, seperti dikutip ntmcpolri.info.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai, juga mengatakan dari sekitar 700 WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah, sebanyak 70-an orang sudah kembali ke Indonesia pada tahun lalu.
“Saya kira dalam tahun ini pasti ada lagi yang balik karena situasi di Irak dan Suriah sudah tidak menguntungkan bagi ISIS. Di Irak, ISIS sudah dideklarasikan kalah. Di Suriah juga pada lari. Jadi otomatis sebagian besar kembali ke negara masing-masing,” kata Ansyaad, awal Juli lalu.
Gerilya
Terorisme belakangan ini menunjukkan dua fenomena. Pertama, serangan yang terafiliasi dengan jaringan ataupun sel teroris. Yang kedua adalah yang namanya leaderless jihad.
Untuk yang masuk jaringan atau sel, satu diantaranya aksi secara lone wolf. Hal itu sebagaimana terjadi dalam teror di Surakarta beberapa waktu silam. Sedangkan kasus ledaerless teroris, terjadi dalam penyerangan anggota Brimob di Masjid Falatehan, Jakarta Selatan, Jumat 30 Juni lalu. Tersangka penyerangan, Mulyadi, tidak terkait dengan jaringan maupun sel teroris tertentu.
Sementara, fenomena leaderless dilakukan tanpa adanya afiliasi terduga pelaku teror dengan kelompok radikal tertentu. Mereka yang leadarless ini teradikalisasi setelah membuka situs dan website radikal; aktif di internet chatting, kelompok telegram yang radikal, terpengaruh, belajar sendiri cara mengatur serangan survei sendiri dan kemudian melakukan serangan yang dia pilih sendiri.
Selain itu mulai ada perubahan cara berperang yang dilakukan sel-sel aktif pelaku teror di tanah air, seiring sulitnya mendapatkan bahan peledak. Perlawanan mereka bisa menggunakan cara apa saja, termasuk penyerangan menggunakan senjata tajam. Strategi itu juga bisa mereka gunakan untuk merebut senjata aparat. Mereka sekarang memulai perang gerilya.
Setelah sejumlah teror kepada anggota kepolisian, Mabes Polri memerintahkan jajarannya, khususnya para petugas di lapangan, memperkuat pengamanan. Para personel tersebut juga akan diberikan tempat khusus sebagai markas dengan sistem keamanan yang baik.
“Dalam perang gerilya kita, berlaku ketika lawan sedang kuat, mundur tiarap. Ketika lawan lengah, kita menyerang. Kalau tahu kita siap, dia tenang-tenang. Tapi begitu tahu kita mengendor, mereka lagi menyerang,” kata Kapolri.
Dan mereka kadang ada di halaman belakang rumah Indonesia, kadang di seberang Markas Besar Polri. [Didit Sidarta]