Koran Sulindo – Pengadilan di Filipina menyatakan seorang pensiunan jenderal militer bersalah atas hilangnya 2 aktivis pda 2006. Pensiunan jenderal itu disebut sebagai salah satu orang yang paling sadis dan berniat “menghabisi” musuh-musuh negara karena dinilai tidak layak untuk hidup.
Jovito Palparan demikian nama pensiunan jenderal tersebut. Berdasarkan putusan pengadilan, Palparan yang dijuluki sebagai “The Butcher” akan menjalani hukuman setidaknya 20 tahun di dalam penjara. Julukan itu diberikan oleh kelompok kiri karena taktik-anti-pemberontakannya yang brutal terhadap gerilyawan komunis.
Putusan pengadilan itu mendapat penghormatan dari aktivis karena tidak banyak pejabat tinggi militer yang dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya di masa lalu. Palparan disebut pengadilan bersama 3 perwira militer dituduh menculik 2 mahasiswa pada 2006 karena dicurigai terkait dengan kelompok komunis.
Seperti yang dilaporkan Channel News Asia, hingga hari ini 2 aktivis tersebut dinyatakan masih hilang. Pengadilan meyakini keterangan saksi yang menyebutkan kedua aktivis tersebut terlihat di kamp militer dan disiksa. Seorang saksi bahkan mengaku mendapat keterangan dari aktivis yang diculik itu bahwa mereka diperkosa.
Kelompok hak asasi manusia menuduh Palparan menjadi dalang pembunuhan kaum kiri ketika masih sebagai perwira militer. Ia memerangi gerilyawan komunis yang berada di daerah pedesaan miskin di bawah pemerintahan Gloria Arroyo.
Palparan tidak terima dengan putusan pengadilan itu. Ia bahkan menyebut hakim pengadilan itu sebagai orang bodoh. Komisi pemerintah semacam Komisi Nasional HAM menyelidiki pembunuhan aktivis pada 2007 dan menduga Palparan sebagai dalang utama terhadap pembunuhan orang-orang yang dinilai sebagai “musuh negara”.
Palparan sempat bersembunyi pda 2011 setelah didakwa sebagai dalang pembunuh 2 aktivis. Namun, ia berhasil ditangkap pada 2014. Militer dituduh melakukan pembunuhan di luar pengadilan terhadap aktivis.
Perlawanan komunis di Filipina telah berlangsung selama 49 tahun. Dan ini disebut sebagai salah satu perlawanan yang paling lama di Asia dan telah menelan korban hingga 30 ribu jiwa versi pemerintah.
Menanggapi putusan pengadilan itu, Human Rights Watch mengatakan, itu sebagai pukulan besar terhadap budaya impunitas yang selama ini terjadi di Filipina. Terutama jika menyangkut elite-elite. Mereka sama sekali tidak tersentuh hukum.
Hukuman terhadap Palparan, menurut Sekjen Karapatan (kelompok HAM Filipina) Cristina Palabay, menjadi peringatan terhadap aparat keamanan di bawah Presiden Rodrigo Duterte karena ikut serta dalam kasus pembunuhan di luar pengadilan untuk kasus narkotika. “Saya khawatir justru Duterte akan mengampuni Palparan,” kata Palabay.
Sementara, juru bicara Duterte mengatakan, pemerintah menghormati putusan dan menginginkan keadilan bagi para korban. [KRG]