Koran Sulindo – “Yo… prakanca dolanan ing njaba, rembulane padange kaya rina, rembulane sing awe-awe, ngelingake ojo turu sore-sore (‘Ayo, teman-teman, marilah bermain di halaman, bulan bersinar terang bagai siang, bulan memanggil kita dan mengingatkan agar jangan tidur sore-sore’).”
Tembang yang mengajak anak-anak untuk berkumpul di halaman yang diterangi sinar rembulan dan bermain jamuran, petak umpet, engklek, atau egrang hampir tak pernah terdengar, terlebih di area perkotaan. Anak-anak sekarang ini bisa dikatakan tak lagi mengenal tembang itu. Mereka akan lebih paham dan hapal dengan lagu-lagu orang dewasa. Mereka juga tak kenal dengan mainan tradisional, seperti jamuran atau engklek. Mereka lebih berasyik masyuk dengan berbagai game yang ada di gawai (gadget).
Bertolak dari kondisi inilah pengelola Pelataran Djokopekik yang rindu dengan suasana anak-anak bermain saat bulan purnama lantas menginisiasi sebuah pameran bertema “Terang Bulan”, yang berlangsung dari 14 Desember sampai 24 Desember 2016. Pengelola Plataran Djokopekik kemudian mengajak 9 perupa muda untuk memaknai ihwal terang bulan, yang kemudian dituangkan di atas kanvas. Para perupa muda ini adalah I Wayan Agus Novianto, Laksamana Ryo, Oktaviyani, NPAAW, Nesar Ahmad, Triana Nurmaria, Ridho Rizki, Riski Januar, dan Petek Sutrisno.
“Tembang dolanan yang berjudul Terang Bulan ini sengaja kami pinjam sebagai dasar spiritual, untuk mempertemukan sembilan perupa muda ini dalam sebuah pameran yang bertajuk Terang Bulan,” ujar Yaksa Agus, salah satu penyelenggara.
Menurut Yaksa, para perupa muda itu adalah kelahiran pertengahan tahun 1990-an. Maka, boleh dikatakan, pada masa pertumbuhannya mereka lebih dekat dengan perangkat media sosial. Otomatis, rata-rata mereka nyaris tidak pernah merasakan ruang sosial yang bernaung di bawah sinar rembulan. Namun kali ini, lanjut Yaksa, dari Plataran Djokopekik, mereka mencoba bersosialisasi di bawah tajuk Terang Bulan, bagaimana seolah-olah bertemu dan bersosial, bertemu antara perupa dan karyanya dengan para audiens atau apresiator.
Fenomena terang bulan (bulan purnama ), kata Yaksa lagi, sesungguhnya adalah satu peristiwa yang cukup penting, ketika Bulan dalam keadaan bulat penuh, ketika mana gravitasi bulan dalam keadaan kuat dan gravitasi Bumi melemah. Peristiwa ini dalam budaya Jawa adalah satu malam ketika doa-doa akan dikabulkan. Maka, dalam Islam ada ibadah puasa sunah tengah bulan, yaitu tiap tanggal 13,14, dan 15.
Fenomena alam yang satu ini juga ditandai dengan peristiwa hasrat makhluk hidup meningkat. Para binatang pun memasuki masa kawin.
Yaksa menegaskan, dari sembilan perupa ini tampak ada kecenderungan yang berbeda. Bila dipetakan bagaimana dan seperti apa cara pendekatan dalam berkarya, dari sembilan perupa ini ada dua cara. Pertama: sebagian memainkan pendekatan dari perangkat dunia maya, meminjam perbendaharaan sudut pandang, kemudian digunakan sebagai cara ungkap ke dalam karyanya. Kedua: sebagian lagi betul-betul memainkan drama kehidupan dari sekitar ruang sosialnya.
Petek Sutrisno, misalnya, bisa dikatakan mewakili cara yang pertama. Petek yang baru berusia 28 tahun mengakui dirinya besar di era teknologi yang berkembang begitu pesat, meski pada masa kecilnya ia masih sering bermain di halaman bersama teman-temannya saat terang bulan. Maklum, ia tinggal di pinggiran Kota Yogya, di daerah Sewon, Bantul. Dan di lingkungannya juga terdapat sebuah kampung dolanan yang terus melestarikan permainan anak tradisional.
Menurut Petek, zaman sekarang, semua sudah bergeser. Interaksi nyata secara tatap muka, antarteman, saudara, tetangga, sekarang sudah pindah ke media sosial. Media sosial sekarang memegang peran yang penting sekarang. Tapi, kalau tidak bijaksana dalam menggunakannya, akan memberi efek sangat negatif.
Media sosial memberi efek yang sangat luar biasa bagi masyarakat kita dan ini bisa dilihat dari kasus Ahok. Ia melihat banyak orang sudah tidak bisa berpikir jernih, tidak bisa bijaksana, gara-gara hanya membaca berita yang belum tentu benar di media sosial. Banyak orang yang sudah mulai saling menebar kebencian di media sosial, menebar berita berita bohong, dan hal negatif lainnya.
“Banyak orang sekarang menebar kebencian lewat media sosial, saling merasa benar sendiri,” ujar Petek.
Karenanya, ia mencoba menuangkan kesannya terhadap fenomena seperti itu lewat karyanya yang berjudul “Second Wave“. Dalam karyanya tersebut, Petek menampilkan gunung meletus, ombak Tsunami, dan ikon media sosial itu sendiri. Lewat karya “Second Wave“, Petek ingin mengatakan telah ada pergeseran yang telah dialami masyarakat kita.
“Makna terang bulan sudah bergeser dari arti kata terang bulan itu sendiri. Jadi bisa menjadi pemahaman yang sangat luas,” kata Petek.
Berbeda dengan Petek, perupa asal Banyuwangi, Jawa Timur, Laksamana Ryo, mengaku masa kecilnya tak pernah atau sangat jarang bermain dengan teman-temannya. Ia lebih banyak tinggal di rumah dan hanya bermain dengan saudara perempuan. “Pihak keluarga terlalu khawatir sehingga lebih sering meminta saya bermain di rumah saja dengan saudara perempuan,” ujar Ryo, yang kini masih berkuliah di ISI Yogya.
Pada pameran Terang Bulan, Ryo menghadirkan karya “Mother and Daughter”. Ia mencoba memaknai tema terang bulan dengan menyajikan karya yang didasari ide suatu momentum kedekatan antara dirinya dengan ibunya. Yang menjadi menarik dalam karya ini adalah ia mencoba menampilkan kedekatan berdasarkan keadaan yang ironi. Dengan kata lain: dalam momen yang intim antara Ryo dan ibunya diselimuti perasaan yang sebenarnya canggung, hubungan dalam keluarga tidaklah harmonis. “Sehingga jika ditanya momen terdekat dan terintim yang pernah saya alami dengan ibu saya adalah ketika saya berbicara berdua dengan ibu dalam suasana yang tidak seindah kedekatan kami,” tuturnya.
Dalam visual, Ryo menggambarkan lewat boneka cewek dengan tengkorak di atasnya, dan ibunya digambarkan dengan Bumi. “Sebuah keintiman yg indah di dalam ruang landskap yang darkness,” ujarnya lagi.
Menurut Yaksa. pameran ini pantas disimak, antara lain karena ada upaya pencarian dari para perupa perupa muda yang mewakili masanya. “Tentunya dengan cara pandang yang berbeda-beda,” ungkap Yaksa. [YUK]