Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata.
TNI pada mulanya adalah sebuah organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR memang sempat tidak mendapat restu dari pemerintah awal RI yang mengutamakan jalur diplomasi. Namun, tindakan nekat BKR yang menjamur di berbagai daerah, juga berbagai jenis laskar perjuangan, yang justru menjadi pengawal kedaulatan republik dari ancaman Sekutu maupun Belanda, juga sisa-sisa tentara Jepang. Pada perkembangannya, BKR nantinya resmi dijadikan sebagai angkatan perang RI.
Pada 5 Oktober 1945 BKR berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di masa-masa pertahanan kemerdekaan, banyak laskar-laskar perjuangan atau badan perjuangan rakyat yang dibuat oleh rakyat untuk melindungi diri. Sambil terus bertempur dan berjuang demi menegakkan kedaulatan serta kemerdekaan bangsa.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah terus berusaha untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
Untuk itu dipersatukan lah dua kekuatan bersenjata yaitu TRI (Tentara Republik Indonesia) sebagai tentara reguler dengan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sistem demokrasi parlementer yang dianut pemerintah pada periode 1950-1959, ikut mempengaruhi kehidupan TNI. Campur tangan politisi yang terlalu jauh dalam masalah intern TNI mendorong terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mengakibatkan adanya keretakan di lingkungan TNI AD. Di sisi lain, campur tangan itu mendorong TNI untuk terjun dalam kegiatan politik dengan mendirikan partai politik yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) yang ikut sebagai kontestan dalam Pemilihan Umum tahun 1955.
Riwayat TNI dan Polri
Ketika pada 3 Juni 1947 Presiden Soekarno meresmikan keberadaan Tentara Nasional Indonesia (TNI), pada dasarnya adalah demi mempersatukan dua kekuatan bersenjata yakni antara TRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat secara resmi yang sebenarnya bertujuan agar lebih memperkuat sistem pertahanan.
Setelah diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan Desember 1949 di kota Den Haag, yang juga berakibat memberikan perubahan terhadap Indonesia sehingga menjadi sebuah negara federasi yakni Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sejalan dengan hal tersebut maka dibentuklah Angkatan Perang RIS (APRIS) yang merupakan penggabungan dari TNI dan KNIL. Setelah RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia menjadi negara kesatuan seperti semula, lantas APRIS kemudian berubah nama menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Pada 1962, dilakukan sebuah upaya penggabungan antara APRI dan kepolisian negara menjadi sebuah organisasi yang utuh bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Upaya tersebut harus diakui sebagai bagian yang penting dari sejarah TNI pada dekade tahun enampuluhan.
Penggabungan dua kekuatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan keefektifan serta efisiensi dalam pelaksanaan setiap tugas serta menghindari dari pengaruh buruk kelompok politik tertentu.
Namun ketika pada 1998 terjadi perubahan yang cukup signifikan pada situasi politik di Indonesia, ternyata berpengaruh terhadap eksistensi ABRI. Sebagai dampaknya TNI dan Polri pada 1 April 1999 secara resmi dipisah dan masing-masing menjadi institusi mandiri serta tidak saling terkait.
Sempat Ada Usul Angkatan Kelima
Pada awal 1965, ketika situasi Indonesia memang memanas. Beberapa ketegangan terjadi, mulai dari Operasi Trikora di Irian Barat (Papua) hingga konfrontasi antara Indonesia-Malaysia.
Karena situasi tersebut membuat Partai Komunis Indonesia (PKI) mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima yang di kemudian waktu tidak disetujui oleh TNI Angkatan Darat (AD).
Angkatan Kelima merupakan angkatan bersenjata yang rencananya bakal diisi oleh kaum buruh dan tani. Subandrio dalam Kesaksianku Tentang G30S (2000) mengatakan bahwa Presiden Sukarno lah yang pada awalnya punya ide membentuk Angkatan Kelima.
Subandrio yang merupakan mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia serta pernah menjadi kader Partai Sosialis Indonesia menyatakan bahwa tujuan dibentuknya Angkatan Kelima adalah untuk menampung bantuan senjata dari Republik Rakyat Tiongkok atau Cina.
Jenderal Ahmad Yani dan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang pada umumnya anti-komunis menentang pembentukan Angkatan Kelima. “Membentuk departemen Angkatan V (Kelima) tak efisien,” kata Jenderal Yani, seperti dikutip Antara (28/7/1965). Yani secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya atas usul Aidit itu. Selain dianggap tidak efisien, pasukan sipil bersenjata sudah ada dalam wujud Pertahanan Sipil (Hansip). [S21]