109 TAHUN YANG LALU yaitu pada tanggal 14 Juni 1913 sejarah menunjukkan bahwa telah lahir kepedulian akan pelestarian Cagar Budaya. Dengan berdirinya sebuah lembaga yang menangani peninggalan purbakala bernama Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch Indie atau Jawatan Purbakala.
Oudheidkundige Diens (Dinas/Jawatan Purbakala) secara resmi didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada 14 Juni 1913 untuk menggantikan badan sementara yang dibentuk tahun 1901 dengan nama Commissie in Nederlandsche-India voor oudheidkundig op Java en Madoera.
Lembaga inilah yang kemudian melakukan upaya pelestarian terhadap benda-benda purbakala secara sistematis. Jawatan Purbakala ini pertama kali dipimpin oleh N.J. Krom yang merupakan seorang ahli Arkeologi berbangsa Belanda yang lahir di Hertogenbosch, 5 September 1883.
N.J.Krom belajar philology & Archeology di Universitas Leiden dan berhasil menelurkan karya antara lain: Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1919 dan 1923) dan Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926 dan 1931), Oud-Javaansche oorkonden (karya bersama J.L.A. Brandes), Barabudur: Archaeological Description. Dengan menilik latar belakang pendidikan dan karyanya tersebut, tidak salah jika kemudian Pemerintah Hindia Belanda menunjuknya sebagai Kepala Jawatan Purbakala 109 tahun yang lalu.
Jawatan Purbakala yang dipimpin N. J. Krom ini kemudian melakukan upaya pelestarian terhadap benda-benda purbakala. Lalu dengan berjalannya waktu, lembaga tersebut mengalami beberapa kali perubahan nama, namun tetap mengacu pada visi yang sama, yaitu melakukan upaya perlindungan peninggalan purbakala.
Pasca Indonesia merdeka upaya pelestarian benda-benda purbakala terus dilakukan dan berkembang seiring dengan kemajuan jaman. Dengan mengusung visi untuk melindungi tinggalan masa silam guna menjadi pembelajaran bagi generasi penerus.
Ilmu Kepurbakalaan
Ada sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang kepurbakalaan, yaitu Arkeologi.
Arkeologi atau ilmu kepurbakalaan sebenarnya adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan (manusia) masa lalu melalui kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan.
Ilmu Arkeologi muncul dan berkembang dari abad ke 14 di Eropa ketika zaman Renaissance. Bermula dari pengumpul barang-barang antik. Di Indonesia sendiri arkeologi telah berkembang sejak masa Kolonial Belanda
Perkembangan arkeologi di Indonesia dimulai dari lembaga-lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan, seperti Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kemudian di Jakarta mendirikan museum tertua, sekarang menjadi Museum Nasional Indonesia.
Lembaga pemerintah pada masa Kolonial yang bergerak di bidang arkeologi adalah Oudheidkundige Dienst yang banyak membuat survei dan pemugaran atas bangunan-bangunan purbakala terutama candi.
Pada masa Kemerdekaan, Oudheidkundige Dienst menjadi Dinas Purbakala hingga berkembang sampai sekarang menjadi berbagai lembaga seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi yang tersebar di daerah-daerah dan Direktorat Purbakala serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional di Jakarta (sekarang sudah melebur dengan BRIN – Badan Riset dan Inovasi Nasional)
Kajian sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi data berupa artefak (budaya bendawi, seperti kapak batu dan bangunan candi) dan ekofak (benda lingkungan, seperti batuan, rupa muka bumi, dan fosil) maupun fitur (artefaktual yang tidak dapat dilepaskan dari tempatnya (situs arkeologi).
Ahli arkeologi Indonesia terhimpun dalam Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia atau IAAI. Tokoh-tokoh arkeologi Indonesia yang terkenal antara lain adalah R. Soekmono yang mengepalai pemugaran Candi Borobudur. Lalu R.P. Soejono, yang merupakan pendiri dan ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pertama dan mantan kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Juga ada Moendardjito sebagai bapak Arkeologi Modern Indonesia.
Mengapa Kurangnya Apresiasi Masyarakat
Banyaknya pengerusakan situs arkeologi, dan kurangnya masyarakat mengapresiasi benda-benda bersejarah antara lain menunjukkan masyarakat tidak paham fungsi situs atau benda-benda tersebut pada masanya.
Hal tersebut dapat terjadi tampaknya karena pesan-pesan yang tak sampai dari pihak instansi terkait kepada masyarakat sebagai pendukung dan pewaris cagar budaya.
Sangat kurangnya informasi dan berita tentang hasil tindakan positif masyarakat yang berkaitan dengan menjaga situs cagar budaya, juga berita tentang cagar budaya apa saja yang telah terkelola dengan baik, masih belum banyak diulas dalam berita maupun publikasi dalam bentuk tulisan populer. Menyebabkan kurang terdengarnya fungsi, manfaat maupun pentingnya cabang ilmu ini.
“Arkeologi berangkat dari kelampauan, bermuara pada kekinian, dan berproyeksi ke masa depan. Luar biasa bukan?” ucap Profesor Riset Harry Truman Simanjuntak. “Tetapi, arkeologi adalah ilmu yang sepi dari tepuk tangan, langka dalam perbincangan, dan jauh dari kemewahan atau kekayaan.” (Mahandis Yoanata Thamrin – National Geographic, Jumat, 14 Juni 2019).
[KY]