Kapal Induk Amerika Serikat di dekat Perairan China
Ilustrasi : Kapal Induk

Koran Sulindo – Empat puluh tahun yang lalu, juga di momen-momen pergantian tahun salah satu peristiwa paling bersejarah terjadi dalam diplomasi AS yakni berakhirnya 30 tahun keterasingan Beijing dan Washington.

Pertukaran duta besar dan pembukaan kedutaan besar di Washington dan Beijing menjadi salah satu pencapaian puncak era kepresidenan Jimmy Carter, hasil kerja keras diplomasi Richard Nixon dan Henry Kissinger tujuh tahun sebelumnya.

Sementara Dubes China untuk AS merayakan peringatan empat puluh tahun dengan kata-kata penuh perdamian di USA Today dan Presiden Xi Jinping menulis surat kepada Donald Trump dengan harapan hubungan yang lebih produktif  di tahun 2019, seorang laksamana China justru berbicara tentang tenggelamnya kapal-kapal induk AS di laut lepas.

Berbicara di sebuah konferensi militer di kota Cina Shenzhen, akhir Desember silam Laksamana Muda Lou Yuan dengan berani menyatakan bahwa rudal anti-kapal China dapat dengan mudah  menenggelamkan kapal induk AS semudah ‘ular menelan tikus’.

Menenggelamkan sepasang kapal induk AS bagi Lou adalah solusi paling ditakuti Washington karena bakal makan banyak korban.

Jika menenggelamkan satu kapal induk AS akan membunuh 5.000 orang dan menenggelamkan dua kapal induk jumlah korbannya akan dua kali lipat.

Pemerintah AS dan China umumnya menggunakan saluran langsung militer ke militer dan saluran diplomatik untuk menghindari konfrontasi langsung.  “Yang paling ditakuti Amerika Serikat adalah jumlah korban,” kata Lou saat memberi kuliah kepada para pendengarnya.

Seberapa serius AS harus menanggapi komentar itu, dan apakah pendapat itu menjadi arus utama di Tentara Pembebasan Rakyat? Untungnya, solusi Laksamana Lou itu tak terlalu memiliki pendengar di Beijing.

Pertama, pertimbangkan sumbernya. Laksamana Luo Yuan bagaimanapun adalah akademisi dan tak berada di rantai komando di angkatan bersenjata Tiongkok. Jadi dia bebas menyemburkan isi hatinya.

Ia juga sejarah histrionik, termasuk ketika menyatakan bahwa Beijing harus menginvasi Taiwan jika Angkatan Laut AS terlalu campur tangan di Taiwan.

Kedua, tidak ada indikasi apa pun yang menunjukkan bahwa Beijing cukup bodoh melakukan skenario seperti apa yang dijelaskan si laksamana itu.

Tentu saja, kapal-kapal AL China berlayar begitu dekat dengan kapal-kapal AS tetapi hanya itulah sejauh ini tanggapan Beijing. Bagaimanapun, dengan sengaja menenggelamkan kapal AS apa pun itu, apalagi kapal induk, bakal menimbulkan pembalasan ekstrem Washington.

Jika itu yang terjadi, perang dingin AS-China seperti yang tengah terjadi sekarang bakal nampak seperti ‘lelucon. Ya, China memang mengejar dominasinya, termasuk di Laut China Selatan, tetapi itu dilakukannya dengan cara-cara yang jelas terukur.

Di sisi lain, perlu juga dicatat bahwa Beijing memiliki ketergantungan pertumbuhan ekonomi Beijing pada koridor Laut Cina Selatan. Negera itu menggunakan Laut Cina Selatan sebagai jalur utama ekspor dan impor energy seperti minyak.

“China tak akan pernah berniat menghentikan kapal-kapal komersial. Kenapa, karena mereka bergantung pada LCS untuk pengiriman minyak dan gas. Ini adalah garis hidup mereka.”

Dengan kata lain, bagi China menghambat lalu lintas di Laut Cina Selatan akan sama dampaknya dengan membahayakan hubungan dengan para pemasok utamanya. Ini jelas tidak masuk akal dan tentu saja.

Washington dan Beijing tidak akan berperang di laut dalam waktu dekat karena mereka sama-sama memiliki insentif untuk mencegah hal itu terjadi, bahkan jika ada komentar konyol dari seorang jendral tanpa rantai komando yang berniat mengubah status quo.

Tak hanya di sisi China, para hawkish di Gedung Putih sangat bernafsu menantang Beijing, Trump justru terlihat lebih waspada mengeluarkan lebih banyak darah dan uang Amerika untuk membela sekutu seperti Jepang, Filipina dan Taiwan, terutama jika mereka memprovokasi Cina namun di sisi lain berharap AS mendukung mereka.

Sejauh ini, kebijakan AS seperti yang terus menerus ditekankan oleh mantan Menteri Pertahanan James Mattis, sejalan dengan Strategi Keamanan Nasional AS yang baru yakni menganggap China sebagai pesaing potensial. “Sebuah kompetisi geopolitik antara visi bebas dan represif dari tatanan dunia sedang berlangsung di Wilayah Indo-Pasifik.”

Di bawah Mattis, AS meningkatkan frekuensi provokasi ‘kebebasan operasi dan navigasi’ menantang klaim teritorial China. Untuk menunjukkan dukungan AS kepada Taiwan, Mattis menyetujui tiga kapal perang AS transit di Selat Taiwan dan membuat marah Cina. Belum cukup dengarn reaksi itu, Mattis kembali membuat Beijing geram dengan  dengan menyetujui penjualan senjata baru ke Taiwan

Mattis menganggap kedua negara kadang-kadang akan “saling menginjak kaki” dan perlu menemukan cara untuk mengelola hubungan mereka.

Setelah mundurnya Mattis, ada perubahan bertahap menuju postur militer AS yang lebih agresif di Laut Cina Selatan konsisten dengan tipikal Penasihat Keamanan Nasional John Bolton yang gemar mengambil risiko dibanding para pendahulunya.[TGU]