MBS menjadi tamu kehormatan tokoh-tokoh Yahudi di AS.

Koran Sulindo – Putra Mahkota Kerajaan Saudi Mohammed bin Salman menemui tokoh-tokoh  bisnis dan politik Amerika Serikat sepanjang dua minggu kunjungannya ke negeri itu.

MBS akan menyelesaikan lawatannya di pantai barat di mana ia dijadwalkan menjadi tamu kehormatan pada acara makan malam di Los Angeles yang digelar Ari Emanuel, CEO William Morris Endeavor.

Sebelumnya, MBS dilaporkan bertemu dengan mantan presiden Henry Kissinger, Bill Clinton dan calon presiden Hillary Clinton. Ia juga bertemu dengan Senator Chuck Schumer, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan pengusaha dan bekas walikota New York Michael Bloomberg.

MBS juga bertemu dengan Presiden AS Donald Trump di Gedung Putih Oval akhir pekan lalu.

Sementara itu, dari kalangan media MBS menemui kolumnis hawkis Thomas Friedman, Rupert Murdoch dan Jeffrey Goldberg. Ia juga menggelar diskusi dengan dewan editor dari New York Times, Washington Post, Wall Street Journal, Los Angeles Times dan San Francisco Chronicle.

MBS juga menggelar wawancara dengan Time dan Vanity Fair.

Kunjungan MBS ke AS ini bagaimanapun mengkonfirmasi kecurigaan bahwa Saudi memang diam-diam berniat membangun aliansi dengan Israel. Bagi MBS, kerjasama dengan Israel bakal menjadi pilot project bagi agenda reformasi yang tengah dipamerkan pada pemujanya di AS.

Untuk membuktikan keandalannya sebagai sekutu termasuk kesediaannya untuk mengatasi isu-isu ‘modernisasi’, dalam kunjungan tersebut MBS menemui komunitas Yahudi pro-Israel termasuk mereka yang berasal dari kelompok paling kanan.

Di antara yang ditemui adalah dari American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang dikenal sebagai sebuah kelompok lobi di AS.

Saudi di bawah kekuasaan de fakto MBS, diam-diam mengharap normalisasi hubungan dengan Israel, langkah yang didukung Abu Dhabi, Presiden AS Donald Trump dan menantu laki-lakinya yang sekaligs menjadi penasihatnya, Jared Kushner.

Sejak memegang kekuasaan kerajaan tahun lalu setelah tiba-tiba dinobatkan sebagai putra mahkota oleh ayahnya yang sudah tua, bulan Juni tahun lalu MBS memulai serangkaian langkah mengejutkan untuk menenangkan orang-orang Israel.

Langkah itu termasuk ‘penculikan’ Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri, persetujuan Saudi atas pengakuan kurang ajar Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan desakan agar kepemimpinan Palestina di Ramallah menyetujui syarat yang menguntungkan AS dan Israel.

Sejauh ini belum jelas apakah negara-negara di Timur Tengah bakal menerima kepemimpinan ‘reformis’ MBS atas berbagai isu sensitif di kawasan itu. Namun, ‘pelukan’ hangat dan terbuka tokoh-tokoh Zionis sayap kanan di AS bakal memicu kebencian dari seluruh Arab.

Para pengamat memperkirakan, meski Israel dan Arab Saudi tak mungkin menggalang persekutuan terbuka di kancah regional, geopolitik aktual memosisikan mereka di panggung yang sama melawan Iran dan Rusia.

“Perubahan politik di Arab Saudi dan keinginan untuk mengonsolidasikan kekuasaan adalah alasan utama mengapa hubungan ini dengan Israel dibuka,” kata Mahjoob Zweiri, seorang profesor dari Program Studi Teluk Universitas Qatar.

Iran yang digunakan sebagai alasan, lanjutnya, sepertinya tak terlalu khawatir dengan aliansi ini. “Pada kenyataannya, kondisi ini membantu Iran tampil sebagai kekuatan yang ramah sekaligus memperbaiki citranya. Iran juga tampil sebagai benteng terakhir perlawanan terhadap Israel,” tuturnya.

Saudi, yang menikmati kedudukan religiusnya di Arab membangun faksi sendiri, termasuk dengan mencari hubungan dengan Israel dengan janji perdamaian. Secara bersamaan, negara ini juga melestarikan identitas kesunnian untuk mengimbangi pengaruh Iran yang syiah.

Ofer Zalzberg, pengamat International Crisis Group, menyebut pergeseran tatanan politik di Timur Tengah seharusnya mengacu pada proses perdamaian Israel-Palestina sebagai syarat penting membangun kerja sama regional.

“Kelahiran aliansi Saudi-Israel terlihat seperti akan menghalangi Iran, dalam banyak hal menjadi alasan penting memajukan perdamaian Israel-Palestina di Washington dan Riyadh,” kata Zalzberg.

Pengamat menyebut kelompok negara-negara ini sebagai Kamp Arab Pragmatis, yang beranggotakan Mesir, Yordania, dan beberapa negara-negara lain di Teluk. Selain Iran, mereka juga memiliki ancaman strategis lain, yakni gerakan salafi dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.

“Sayangnya, Amerika Serikat meninggalkan ruang kosong di wilayah yang segera diisi Rusia di Suriah, sementara Iran mengisi bagian Timur Tengah lainnya,” ungkap Zalzberg.

Israel dengan kemampuan militer, nuklir dan peralatan perang yang canggih, dianggap sekutu potensial yang paling andal dan orang-orang Saudi mengerti dengan baik bahwa ini menjadi saat yang tepat menjadi teman baik Israel.

Khalil Shaheen, seorang analis politik dari Ramallah, Tepi Barat, mengatakan bahwa penataan ulang ancaman regional jelas-jelan bakal merugikan negara Palestina. “Negara-negara Arab selama ini temotivasi oleh kelangsungan rezim mereka sendiri. Ini mendorong mereka untuk ‘berayun’ ke negara yang lebih kuat di kawasan,” ujarnya.

Sementara itu, Saudi menyadari dukungannya kepada perdamaian Palestina selama ini hanya menjadi beban di tengah isu lain yang lebih penting. Orang-orang Saudi dianggap tak memiliki komitmen pada orang-orang Palestina.

“Sekarang mereka memiliki kesempatan untuk memperkuat kepentingan religius dan otoritas mereka di Makkah dan Madinah, dengan mengorbankan Yerusalem. Namun, pada gilirannya, strategi itu bakal memperkuat posisi mereka melawan Iran,” kata Khalil Shaheen. (TGU)