PADA TAHUN 2014 LAMPAU, Tim Institute of Tropical Disesase (ITD) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya juga diberitakan berhasil menemukan obat DBD, Malaleuca Alternifolia Concentrate (MAC). Obat ini dibuat dari tumbuhan malaleuca alternifolia asal Australia. Kandungan minyak terpinen yang ada pada daun tumbuhan ini mampu merusak batang tubuh virus dengue.

Menurut Ketua ITD Unair ketika itu, Prof. Dr. dr. Nasronudin, Sp.P.D., KPTI FINASIM, sebagamana diberitakan banyak media pada April 2014 lampau, MAC mampu membunuh 96% virus DBD.  Padahal, selama ini, pengobatan DBD hanya difokuskan untuk memperkuat imunitas penderita dari virus dengue dan meningkatkan jumlah trombosit darah. Juga membunuh nyamuk penyebar (Aedes Aegypti dan Aedes Albovictus).

Di Australia, tanaman malaleuca alternifolia hanya dijadikan obat herbal untuk batuk dan demam. “Kami bekerja sama dengan Litbang Kementerian Kesehatan untuk mengembangkan zat terpinen ini untuk DBD karena memiliki sifat antiviral,” kata Nasronudin.

Tanaman itu pun kemudian dikembangkan di Jawa Tengah, jadi bahannya tidak perlu impor. Tahun 2016 lalu, dikabarkan, MAC sudah lolos uji klinis tahap ketiga. Artinya, obat ini telah diujikan kepada pasien DBD.

Diungkapkan Nasronudin, pada tahun 2012-2013 telah dilakukan pengujian pada 530 pasian DBD. Sebagian pasien diberi obat itu dan sebagian lagi diobati sesuai standard selama ini.

Hasilnya: yang mendapat asupan obat ternyata lebih cepat sembuh. Suhu tubuh mereka cepat turun. Gejala DBD seperti mual dan muntah juga hilang dengan cepat. “Sementara yang tidak diberi obat, waktu sembuhnya lama,” tutur Nasronudin.

Tim ITD juga telah melakukan pengujian laboratorium. Hasilnya positif, trombosit pasien DBD yang diitervensi MAC tidak terlalu turun. Ini dianggap baik karena dapat mencegah terjadinya pendarahan yang umum terjadi pada pasien demam berdarah.

Virus dengue yang ada pada pasien DBD yang mengonsumsi MAC juga berangsur hilang. Dengan demikian, ketika nyamuk pembawa virus dengue menggigit penderita DBD, virusnya tidak akan terbawa.

MAC juga membuat kekebalan tubuh pasien meningkat. Diyakini, ini terjadi karena ada pembentukan imunomodulator atau senyawa yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh. “Jadi, pasien DBD yang sudah minum obat tersebut tidak akan menularkan virus dengue saat digigt nyamuk,” kata Nasronudin lagi.

Obat temuan Tim ITD ini juga tidak bersifat toksisitas atau beracun bagi tubuh. Saat dilakukan penelitian pada yang mengonsumsi obat tersebut, kondisi hati dan ginjal mereka masih baik.

Kendati begitu, pasien yang divonis masuk kategori shock dengue diharuskan dilakukan upaya pemulihan terlebih dulu. Setelah kondisi pasien dinyatakan tidak gawat, barulah MAC boleh diminumkan.

Menurut Nasronudin, obat ini penemuan baru. Bahkan, obat ini diklaim yang pertama di dunia yang telah sukses diujikan kepada pasien.

Namun, obat ini belum dapat diproduksi karena belum mendapat izin edar dari BPOM. “Kami sudah mengirimkan surat ke BPOM agar memperbolehkan menggunakan CPP [certificate for pharmaceutical product] obat tersebut,” kata Direktur PT Neumedix Indonesia Placidus Sudibyo, seperti diberitakan Tempo pada 6 Februari 2016 lampau.

Diungkapkan Sudibyo, ada beberapa kendala yang dihadapi industri farmasi dalam negeri. Indonesia tak bisa mengedarkan obat yang patennya dimiliki oleh merek 98alive, perusahaan asal Australia. Karena, Melaleuca Alternifolia Concentrate atau MAC telah menjadi nama paten bahan aktif antiviral dengue dengan tambahan immune system support.

Pihaknya, lanjut Sudibyo, baru dapat memproduksi obat impor itu dengan nama merek dagang lain karena terganjal regulasi di Indonesia soal merek obat. “Kami ganti mereknya menjadi AviMAC. Tapi untuk bisa mengimpor produk jadi, kami harus punya dokumen-dokumen dari Australia, salah satunya CPP itu,” tuturnya.

Sudibyo pun meminta BPOM memberikan jalur cepat bagi izin obat-obat yang sangat dibutuhkan masyarakat, termasuk obat demam berdarah ini. Pemerintah harusnya bertindak sigap dalam hal birokrasi, mengingat DBD telah masuk kategori Kejadian Luar Biasa (KLB).

Caranya, menurut Sudibyo, BPOM mengeluarkan izin produksi terlebih dulu dengan pengawasan dokter spesialis supaya penggunaannya diawasi dengan ketat. “Jangan sampai masyarakat tidak memperoleh manfaatnya hanya karena ruwetnya birokrasi,” katanya. [Purwadi Sadim]