Koran Sulindo – Setidaknya sudah belasan tahun belakangan ini, rokok “konvensional” diserang dengan gencar lewat berbagai kampanye di seluruh dunia. Kemudian muncul teknologi baru yang menghasilkan apa yang disebut sebagai produk “tembakau alternatif”.
Lalu, di ruang publik pun muncul informasi mengenai sejumlah hasil penelitian yang kesimpulannya antara lain menyatakan tembakau alternatif mengurangi potensi risiko kesehatan dari rokok. Di Indonesia, Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik Indonesia (YPKP Indonesia) Dr. drg. Amaliya, M.Sc. Ph.D., pun mengeluarkan siaran pers pada 7 Februari 2019.
Isinya terutama tentang produk tembakau alternatif yang diharapkan menjadi solusi alternatif untuk berhenti merokok secara bertahap. “Produk tembakau alternatif yang menggunakan teknologi [pada perangkatnya] dan didukung penelitian kredibel menunjukkan hasil lebih rendah risiko kesehatan daripada rokok. Inovasi ini dapat menjadi salah satu pilihan masyarakat dalam mengatasi masalah rokok,” tutur Amaliya dalam siaran pers tersebut.
Mengutip hasil riset Public Health England, divisi di Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial Inggris, pada 2018 lalu, Amaliya menjelaskan, penggunaan produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, bukan dibakar, memiliki risiko kesehatan 95% lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Kesimpulan yang hampir serupa juga ada pada hasil penelitian Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko, tahun 2018 pula.
Menurut hasil penelitian itu: produk tembakau yang dipanaskan, bukan dibakar, menghasilkan uap bukan asap karena tidak melalui proses pembakaran. Produk tembakau alternatif memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80% sampai 99% dibandingkan rokok konvensional.
Amaliya pun mengutip kajian ilmiah dari Georgetown University Medical yang bertajuk “Potential Deaths Averted in USA by Replacing Cigarettes with E-Cigarettes“. Diperkirakan, sebanyak 6,6 juta orang di Amerika Serikat dapat terhindar dari kematian dini melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
Ini semakin menegaskan, kata Amaliya, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok dan menjadi salah satu solusi untuk berhenti merokok secara bertahap. “Jika para perokok di Indonesia yang mencapai 60 juta jiwa menyadari produk tembakau alternatif ini dapat mengurangi risiko kesehatan, dapat dibayangkan berapa besar potensi jutaan jiwa yang bisa diselamatkan,” kata Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (Kabar) ini.PADA 17 Februari 2019 lalu, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga menyatakan mendukung inovasi yang diciptakan melalui produk tembakau alternatif. Pernyataan ini disampaikan lewat siaran pers pula.
Menurut Tim Penulis Lakpesdam PBNU Idris Masudi, pihaknya telah melakukan penelitian soal ini dan hasilnya telah dibukukan, dengan judul Fikih Tembakau: Kebijakan Produk Tembakau Alternatif di Indonesia. Penelitian itu diklaim menghasilkan sejumlah temuan terkait konsep pengurangan risiko pada produk tembakau alternatif.
Dalam konteks fikih, ungkap Idris, inovasi teknologi diperbolehkan, bahkan dianjurkan, sebagai upaya memberikan manfaat (kemaslahatan) yang lebih besar bagi umat manusia. Kemaslahatan yang dimaksud antara lain adalah upaya menurunkan risiko kesehatan melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
“Dalam konteks fikih Islam, mengembangkan ilmu pengetahuan melalui inovasi teknologi yang memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat tentu dianjurkan. Kami melihat inovasi yang dilakukan ini lebih banyak manfaatnya ketimbang keburukan,” ujarnya.
Kendati demikian, dalam siaran pers itu juga dimuat pandangan Dewan Perumus Lembaga Bahtsul Masail PBNU yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, K.H. Azizi Hasbullah. Ia menyatakan, perlu ada pembahasan lebih mendalam mengenai hukum produk tembakau alternatif.
Lembaga Bahtsul Masail PBNU merupakan forum musyawarah NU untuk mencari jawaban atas berbagai masalah yang berkembang di masyarakat. Sejauh ini, PBNU baru menerbitkan hukum untuk rokok konvensional. “Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada tahun 2011 telah menyatakan rokok hukumnya hanya sampai pada mubah dan makruh. Para ulama yang mengikuti forum ini menilai tidak ada dasar yang kuat untuk mengharamkan rokok, sehingga rokok elektrik pun juga boleh saja digunakan,” kata K.H. Azizi.BANYAK yang mencurigai, ada kepentingan bisnis perusahaan farmasi di balik kampanye berhenti merokok konvensional. Yang kerap menyuarakan suara kritis ini di Indonesia adalah mereka yang bergabung dalam Komunitas Kretek. Rokok kretek adalah rokok khas Indonesia, yang bahan utamanya adalah tembakau dan cengkih.
Dalam opininya yang dimuat di di situs komunitaskretek.or.id pada 21 Juni 2017 lampau, aktivis Komunitas Kretek Azami Mohammad menilai, publik selama ini disuguhi slogan-slogan kampanye yang menstigma rokok melulu negatif. Yang meneriakkan kampanye itu adalah orang-orang yang dianggap otoritatif mengenai kesehatan.
“Sekali gosok isu rokok versus kesehatan, publik akan gampang percaya begitu saja tanpa melemparkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Sebab, konten kampanye yang dilempar bersifat negatif dan juru kampanyenya dianggap otoritatif. Kedua kombinasi ini sukses meruntuhkan sikap kritis kita terhadap apa yang ada dibalik persoalan rokok,” tulisnya.
Alasan melepas ketergantungan, merugikan negara, tidak baik untuk dikonsumsi, dan tawaran produk alternatif yang diklaim lebih baik, menurut Azami, tak lebih dari strategi pemesaran semata. “Agar konsumen tak punya pilihan lain, beralih konsumsi ke produk lainnya,” ungkapnya.
Azami juga mengutip hasil penelitian Wanda Hamilton dari Amerika Serikat, yang menguak kepentingan bisnis nikotin yang dialihkan dari produk hasil tembakau ke produk farmasi. Melalui kampanye bebas tembakau kemudian berkembang menjadi bisnis nikotin gaya baru yang dikelola korporasi farmasi internasional.
“Transperancy Market Research (TMR) yang berpusat di New York melansir data bahwa bisnis yang akrab disebut sebagai smoking treatment industry ini menghasilkan US$ 6,5 juta dari pasar global pada tahun 2014. Angka ini, menurut TMR, akan terus bertambah tiap tahunnya dan bakal mencapai US$ 20,5 juta pada tahun 2023. Sebuah angka yang tidak kecil untuk bisnis yang menggunakan dalih membebaskan dunia dari tembakau, tapi menjadikan nikotin sebagai produk jualannya,” tulis Idris lagi.
Memang, para pemain utama bisnis nikotin yang menggiurkan ini adalan korporasi internasional, seperti Johnson & Johnson, GlaxoSmithKline (GSK ), dan Pfizer. Dari perusahaan-perusahaan tersebut kemudian hadir produk-produk nicotine replacement therapy, nicotine gums, nicotine transdemal patches, nicotine lozenges, nicotine sprays, nicotine inhalers, nicotine sublingual tablets, drug therapy, dan e-cigarettes.
Ia juga mempertanyakan, mengapa di Indonesia ada yang mendorong pemerintah agar membuat mengakomodasi produk alternatif tembakau dan membuat regulasi agar tidak dilarang untuk dikonsumsi. “Kalau [mereka yang] antirokok ini tidak main-main dengan kepentingan bisnis, ngapain mereka nawarin produk alternatif lain? Kalau serius, ya, mari sama-sama kita banned total tembakau dan produk hasil tembakau lainnya, segala yang berbau tembakau tidak lagi ada di muka Bumi ini, termasuk produk alternatifnya pun jangan. Anggap saja dengan melakukan hal tersebut antara [yang] protembakau dan antitembakau jadi sama-sama tidak punya kepentingan terhadap tembakau,” tutur Azami Mohammad. [PUR]