Ilustrasi

Koran Sulindo – Investigasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) pada kasus penembakan mobil berisi satu keluarga di Lubuklinggau Sumatera Selatan menyatakan tersangka Bripka K yang terakhir latihan menembak pada 2008.

“Brigadir K yang melakukan penembakan melakukan latihan menembak dengan senjata yang sama terakhir itu tahun 2008 pada saat dia sekolah. Ini masalah latihan. Polres-polres lain kurang lebih mengalami hal yang sama,” kata Anggota Kompolnas, Irjen (Purn) Bekto Suprapto.

Menurut Bekto, hal itu terjadi lantaran ketersediaan peluru. Seharusnya Mantan Kapolda Papua itu mengatakan latihan menembak harus dilakukan 3 bulan sekali. Selain itu, aturan penggunaan senjata api sudah cukup baik mengacu pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 yang bersumber pada Hak Asasi Manusia (HAM).  Dalam Perkap itu sangat jelas bagaimana harus memberi pengertian kepada orang yang diberikan peringatan.

“Tembakan peringatan 3 kali hanyalah mitos. Tidak harus diberi tembakan, cukup saya polisi kamu berhenti, letakkan senjata kamu,” katanya.

Di Indonesia baru diajari bagaimana harus menembak, belum mendapat pelajaran kapan harus menembak dan dalam kondisi apa harus dilakukan.

“Dalam aturan jelas harus 3, pertama senjata harus legal, kedua keperluannya seperti apa dan ketiga proposionalitas,” kata Bekto.

Polisi memang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Dimulai dari penembakan mobil berisi satu keluarga di Lubuklinggau, Sumatera Selatan yang membuat Brigadir K menjadi tersangka pada pertengahan April lalu. Kemudian bentrok antara polisi dengan pengunjuk rasa Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia yang menyebabkan 6 orang terkena peluru karet. Terakhir Aipda BS, anggota Polres Bengkulu, yang menembak anaknya sendiri, Bagas (14) lantaran disangka pencuri, pada Rabu (26/4) kemarin.

“Ada yang beranggapan bahwa yang namanya polisi prestisenya, martabatnya terletak pada senjata api. Padahal menurut saya perbedaan polisi dan non polisi adalah amunisi yang paling dahsyat penghargaan terhadap civility, kesantunan dan menjunjung tinggi HAM,” kata pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, dalam acara Dialog Polri di Blok M, Jakarta, Kamis (27/4).

Meski yang melakukan kesalahan adalah individu, Reza mengatakan Polri juga harus bertanggungjawab.

“Organisasi tidak bisa 100 persen melepaskan tanggungjawabnya dengan menyebutnya sebagai oknum. Harus ada pertanggungjawaban kepada publik sebagai institusi kepolisian itu sendiri,” kata Reza.

Dari kejadian-kejadian tersebut, Kepala Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Propam Polri, Brigjen Baharuddin Djafar mengatakan adanya kelalaian dan tidak mengikuti aturan dalam melaksanakan tugas.

“Untuk di Bengkulu, Aipda BS, melanggar aturan yaitu kepemilikan dan pemanfaatan senjata api. Kalau tindakan diskresinya salah, akan berakibat pada dirinya. Itu konsekuensi daripada dia dipersenjatai,” kata mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya itu.

Baharuddin mengatakan sebelum menggunakan senjata api, anggota harus menjalani serangkaian tes. Salah satunya tes psikologis secara periodik.

“Hanya masih banyak saja terjadi penyalahgunaan senjata dalam pelaksanaan sehari-hari. Kita lihat juga itu biasanya jauh dari jumlah yang ada, Polri 460 ribu personil lebih itu yang kalau terjadi tindak kemudian 00,1 persen. Sehingga kalau mau dibandingkan tapi ini bukan alasan pemaaf untuk melakukan kesalahan,” kata Baharuddin. [YMA]