Tasawuf al-Maqassari

Ilustrasi: Patung Syekh Yusuf di anjungan Pantai Losari Makasar/mahajinoesa.wordpress.com

Koran Sulindo – Tak syak lagi Syekh Yusuf al Maqassari adalah seorang sufi dan mujadid terkemuka yang dalam khasanah intelektual dan ulama Nusantara. Tapi, seperti ditulis Azra: “Tidak seperti banyak sufi dalam sejarah awal yang menunjukkan kecenderungan kuat mengelakkan kehidupan duniawi, seluruh ajaran dan amalan al-Maqassari menunjukkan aktivisme yang berjangkauan luas”.

Konsep tauhid al-Maqassari tidak lepas dari konsep tauhid ahl as-sunnah wal-jama’ah yang menetapkan zat dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an. Al-Maqassari menyebutnya sebagai um al-i’tiqad, induk dari keimanan.

Konsep utama tasawuf al-Maqassari adalah pemurnian kepercayaan (akidah) pada Keesaan Tuhan. Suatu ciri menonjol dari teologi al-Maqassari tentang Keesaan Tuhan adalah bahwa ia berusaha mendamaikan seluruh atribut dan sifat Tuhan. Menurut keyakinan Islam, Tuhan memiliki sifat-sifat yang saling bertentangan satu sama lain: misalnya, Tuhan diyakini sebagai Yang Pertama (al-Awwal) dan Yang Terakhir (al-Akhir); Yang Lahir (al-Zhahir) dan Yang Batin (al-Bathin), dan sebagainya. Menurut al-Maqassari, semua sifat Tuhan yang tampaknya saling bertentangan itu hendaknya dipahami sesuai Keesaan Tuhan sendiri (Azra 2013: 302).

Hamka juga mengakui bahwa ajaran utama Syekh Yusuf al Maqassari adlah ilmu tasawuf yang bersumber dari ilmu tauhid. “Tasawuf menimbulkan zuhud. Dan hasil tauhid yang menimbulkan zuhud itu adalah hubb, artinya cinta kepada Allah!” kata Hamka.

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh al Maqassari dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajarannya mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan al-Maqassari, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan. Dengan demikian al-Maqassari mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Dimensi tasawuf al-Maqassari bergerak dalam konsep keyakinan terhadap Allah, mengelaborasi konsep tauhid sebagai pintu masuk untuk mengenal zat yang Maha Besar, Allah Maha Agung. Inilah jalan pembuka, yang disadari al-Maqassari sebagai pelajaran awal bagi pengikutnya untuk mengenal Allah, mengenal Sang Pencipta.

Dalam risalah al-Futuhah al-Ilahiyyah, al-Maqassari merinci rukun tasawuf dalam sepuluh perkara. Baginya, rukun tasawuf ini, menjadi penting bagi salik untuk berada dalam garis perjalanan mendekat menuju-Nya.

Manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) dalam pandangan al-Maqassari  adalah manusia yang sampai ke makam ma’rifat. Bukan hanya manusia biasa yang berislam secara dangkal. Al-Maqassari memberi penekanan tentang hakikat ma’rifat dalam kekhususan tingkatan manusia sebagai al-insan al-kamil. Manusia sempurna akan ingat Allah dalam segala urusan, kapanpun dan di manapun berada. [Satyadarma]