Target Pemerintah Hilangkan Kemiskinan Ekstrem di 2024

Potret Kemiskinan (sumber : harianbisnis.co.id)

Upaya penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals/SDGs, yang memuat komitmen global untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030.

Upaya pemerintah untuk mencapai target menghilangkan kemiskinan ekstrem pada akhir tahun 2024 terus dikebut. Kemiskinan ekstrem yang dimaksud mengacu pada definisi Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang sebesar 1,9 dolar PPP (purchasing power parity) per hari.

Menurut data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia masing empat persen atau sekitar 10,86 juta jiwa. Sementara tingkat kemiskinan secara umum Indonesia berdasarkan data Maret 2021 adalah 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa.

Upaya penurunan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development goals/SDGs, yang memuat komitmen global untuk menghapuskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030.

“Bapak Presiden menugaskan kita semua untuk dapat menuntaskannya enam tahun lebih cepat, yaitu pada akhir tahun 2024,” kata Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin saat memimpin rapat pleno percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem dalam kapasitasnya sebagai Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang diselenggarakan secara virtual.

Saat ini, lanjut Wapres, pemerintah melalui berbagai Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah telah melaksanakan banyak program. Ini terbagi dalam dua kelompok utama, yaitu kelompok program untuk menurunkan beban pengeluaran rumah tangga miskin, dan kelompok program untuk meningkatkan produktivitas masyarakat miskin.

Pada tahun anggaran 2021 ini saja, lanjut Wapres, anggaran program dan kegiatan untuk pengurangan beban pengeluaran melalui bantuan sosial dan subsidi berjumlah Rp. 272,12 triliun, serta anggaran program dan kegiatan untuk pemberdayaan dan peningkatan produktivitas berjumlah Rp. 168,57 triliun, sehingga alokasi anggaran keseluruhan adalah Rp. 440,69 triliun.

Tetapi untuk merealisasikan itu, ada tantangan terbesar bagaimana membuat program-program tersebut konvergen dan terintegrasi dalam menyasar target yang sama. Konvergensi ini penting untuk memastikan berbagai program terintegrasi mulai dari saat perencanaan sampai pada saat implementasi di lapangan, sehingga dapat dipastikan diterima oleh masyarakat yang berhak.

Konvergensi yang dimaksudkan Wapres adalah upaya untuk memastikan agar seluruh program penanggulangan kemiskinan ekstrem mulai dari tahap perencanaan, penentuan alokasi anggaran, penetapan sasaran dan pelaksanaan program tertuju pada satu titik atau lokus yang sama baik itu secara wilayah maupun target masyarakat yang berhak.

Karenanya, Wapres memberikan arahan agar semua Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dapat mengidentifikasi program/kegiatan. Tujuannya, agar proses sinkronisasi dan konvergensi difokuskan ke wilayah-wilayah kantong kemiskinan ekstrem dan memastikan bahwa rumah tangga miskin ekstrem menerima manfaat semua program tersebut.

Wapres juga memberikan arahan agar memperbaiki sistem pemasaran nasional (national targeting system). Perbaikan sistem pemasaran nasional harus segera dikebut, dimulai dengan memperbaiki penargetan berdasarkan wilayah, terutama wilayah-wilayah yang merupakan kantong kemiskinan ekstrem.

Terkait dengan hal tersebut Wapres telah meminta Sekretariat TNP2K untuk mengidentifikasi 212 Kabupaten/Kota dari 25 provinsi yang merupakan kantong-kantong kemiskinan dengan cakupan 75 persen dari jumlah penduduk ekstrem secara nasional.

Untuk tahun 2021 ini, Presiden Jokowi mengarahkan agar penanganan kemiskinan ekstrem dimulai dari tujuh provinsi, yang di tiap-tiap provinsi dipilih lima kabupaten sebagai fokus. Berarti, harus ditetapkan 35 Kabupaten yang berada pada tujuh provinsi tersebut.

Sebanyak 35 kabupaten/kota ini mewakili 20 persen jumlah penduduk miskin ekstrem secara nasional. Kelima provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Maluku, Papua Barat dan Papua.

Untuk tahap pelaksanaan awal pengurangan kemiskinan ekstrem di 2021 ini, Wapres memberikan arahan khusus kepada para Menteri/Kepala Lembaga untuk mendorong penguatan pelaksanaan program bansos maupun pemberdayaan di 35 kabupaten terpilih.

Selanjutnya Wapres juga meminta agar memperkuat penargetan rumah tangga ekstrem dalam fokus wilayah tadi. Untuk kepentingan tersebut, daftar 212 kabupaten/kota tersebut harus dilengkapi pula dengan informasi jumlah rumah tangga miskin termasuk rumah tangga miskin ekstrem.

“Bagi kementerian/lembaga yang memiliki program bantuan sosial bersasaran (targeted program), agar memastikan bahwa seluruh rumah tangga miskin/individu yang masuk kategori miskin ekstrem di fokus wilayah tersebut menerima bantuan sosial,” tegas Wapres.

Untuk itu, Wapres meminta secara khusus kepada Menteri Sosial dapat segera menyelesaikan tugas pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), agar bisa segera dimanfaatkan oleh berbagai Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah untuk penetapan sasaran kegiatannya.

Pasalnya, DTKS tidak hanya digunakan oleh program/kegiatan Kementerian Sosial saja, tapi juga digunakan oleh Kementerian/Lembaga lain. Bahkan oleh Pemerintah Daerah yang memiliki program/kegiatan bersasaran rumah tangga.

Dengan begitu, pemutakhiran DTKS menjadi kunci. Sehingga diharapkan perbaikan DTKS segera dilakukan dengan standar dan metodologi yang sesuai dengan praktik baik di negara lain seperti pemanfaatan proxy means test (PMT) dengan sasaran jangka pendek adalah mencari rumah tangga miskin ekstrem yang belum terdaftar sebagai penerima bantuan sosial atau yang sering disebut dengan exclusion error.

Di masa yang akan datang Wapres meminta, agar tata kelola data perlindungan sosial terus disempurnakan sesuai dengan praktik baik di negara lain yang mengelompokkan data perlindungan sosial kedalam social registry sebagai induk dan data penerima manfaat (beneficiary registry) yang berisi data rumah tangga dan data usaha mikro kecil (UMK).

Hal ini berkaca pada penyaluran bantuan dalam masa pandemi Covid-19 di mana pemerintah kesulitan untuk menyalurkan kepada mereka yang tiba-tiba jatuh miskin. [WIS]