Koran Sulindo – Cara Presiden AS Donald Trump berhadapan dengan pemimpin-pemimpin Iran, sama persis dengan yang dilakukan kepada Pemimpin Republik Demokratik Rakyat Korea, Kim Jong-un.
Caci maki dan perang kata-kata di media sosial, lalu mengajaknya bertemu.
Setelah menebar serangkaian serangan di media sosial, Trump mengatakan justru siap bertemu dengan Presiden Iran Hassan Rouhani tanpa syarat.
“Saya pasti akan bertemu dengan Iran jika mereka ingin bertemu,” kata Trump, Senin malam saat menggelar konferensi pers bersama di Gedung Putih dengan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte.
“Saya tidak tahu apakah mereka sudah siap. Mereka mengalami kesulitan. Kapan saja mereka mau jika mereka ingin bertemu, saya akan bertemu.”
Akhir pekan lalu, laporan media Australia ABC membuat kehebohan dengan menulis Amerika tengah mempersiapkan aksi internasional untuk membom Iran.
Serangan yang bakal dilakukan awal bulan depan itu disebut akan mengincar fasilitas nuklir Iran.
ABC menulis laporan itu mengutip seorang tokoh senior di pemerintahan PM Malcolm Turnbull sekaligus menyebutkan bahwa Australia mengkin siap membantu mengidentifikasi target-targetnya.
Meski laporan itu dibantah Menteri Pertahanan AS James Mattis, tulisan ABC itu ibarat menyiram kobaran api dengan bensin. Presiden AS Donald Trump memang tengah mengadu urat syaraf dengan orang-orang di Teheran.
Tentu saja, bukan Trump jika tak gemar menebar gertak dan ancaman.
Ia mengancam pemimpin Iran bahwa negeri itu bakal mengalami “konsekuensi-konsekuensi yang jarang dialami oleh orang-orang sepanjang sejarah.
Itu kata-kata yang nyaris persis sama diucapkan Trump Agustus tahun lalu ketika mengancam Kim Jong-un, pemimpin Republik Rakyat Demokratik Korea.
Kepada Jong-un kala itu Trump menebar gertak dengan “api, kemarahan dan kekuasaan nyata yang belum pernah dilihat dunia sebelumnya.”
Sepanjang itu menyangkut tentang Iran, tentu saja Trump serius.
Iran jelas tak memiliki nuklir, juga mungkin memiliki cara menahan gempuran kekuatan militer konvensional AS. Namun orang-orang Iran membuat Trump berkali-kali lipat lebih marah daripada pemimpin Kim Jong Un.
Bukan karena berbahaya tapi karena orang-orang Iran menolak ‘bermain’ bersamanya.
Ketika akhirnya Jong-un setuju bertemu Trump, acara-acara TV kemudian tampil hebat untuk menutupi substansi pembicaraannya. Sedikit tindak lanjut dari pertemuan di Singapura itu, kecuali Trump ternyata berhenti menghina dan mengancam Jong-un di Twitter.
Jika pada akhir ‘perang’ kata-kata itu Jong-un akhirnya mau duduk bersama dengan Trump, mungkinkah orang-orang Iran mau semeja dengan Trump? Tak ada jawaban pasti untuk itu.
Seperti cerita nuklir Pyongyang, sangat mungkin Trump berniat menegosiasikan kembali kesepakatan nuklir multilateral yang diteken dengan Iran tahun 2015 silam. Bagi Trump, kesepakatan itu terlalu lemah untuk kepentingan AS.
Jadi runutan ‘perang’ twitter itu begini; bulan Mei lalu Trump memutuskan bahwa AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran. Dengan segera, PM Israel Benjamin Netanyahu yang memang terampil memicu kemarahan Trump mempersoalkan kehadiran Iran di Surah. Tentara Iran di perbatasan Suriah-Israel di Dataran Tinggi Golan jelas alarm buat Tel Aviv.
Israel mungkin tak akan pernah mengirim tentaranya ke Suriah. Namun, pendekatan Netanyahu kepada Vladimir Putin jelas berhasil menjauhkan pasukan Iran dari Dataran Tinggi Golan saat tentara Damasukus mengambil alih daerah itu dari pemberontak.
Israel-Rusia secara tak resmi sepakat, jika Putin gagal menjauhkan Iran dari perbatasan Israel di Dataran Tinggi Golan, Rusia tak bakal keberatan dengan serangan Israel pada infrastruktur militer Iran di Suriah. Dan itu yang memang terjadi di lapangan.
Trump jelas cocok dengan kesepakatan tersebut dan diungkapkannya saat bertemu Putin di Helsinki.
“Presiden Putin sekarang sangat terlibat dengan kami dalam sebuah diskusi dengan Netanyahu tentang melakukan sesuatu dengan Suriah dan sekitarnya, dan khususnya berkaitan dengan keamanan jangka panjang Israel,” kata Trump pekan lalu.
Ini sejalan dengan pemikiran pemimpin-pemimpin Arab khususnya Arab Saudi yang mendesak Trump untuk mengekang pengaruh Iran di Timur Tengah.
Sementara itu, dengan Putin dan Netanyahu menangani situasi di Suriah untuk ‘kepuasan’ Trump AS tentu saja perlu terlibat secara militer di Suriah. Bagi Washington ancaman itu ada di tempat lain. Itu di Iran.
Pemimpin Iran, baik itu Presiden Hassan Rouhani maupun Ayatollah Ali Khamenei baru-baru ini sepakat jika Iran tidak diizinkan mengekspor minyak, negara-negara Teluk lain juga tak akan bisa melakukan itu.
Ini adalah bahasa ‘lain’ untuk ancaman terselubung memblokir Selat Hormuz, selat sempat yang menjadi lalu lintas sepertiga ekspor minyak global. Bahasa serupa disampaikan secara terbuka oleh pejabat-pejabat Iran pada level di bawahnya.
Di sisi lain, Iran tentu tak bakal bertindak sejauh itu dengan membuka konfrontasi militer dengan AS karena untuk memenangkannya bukan merupakan hal mudah.
Bakal lebih bijaksana jika para pemimpin Iran ‘berbicara’ dengan Trump seperti yang dilakukan Jong-un atau Putin. Pendekatan ini bakal memastikan fleksibilitas AS dalam bernegosiasi. [TGU]