Tanam Paksa, Membangun dari Darah dan Keringat Petani

Sistem Tanam Paksa

Koran Sulindo – Ide Johanes Van den Bosch memerkenalkan cultuurstelsel didasarkan pada pungutan pajak dalam bentuk barang produksi tanaman perdagangan atau cashcrops.

Komoditas itu dapat dikumpulkan dalam jumlah yang besar dan sekaligus bisa dikirimkan ke negeri induk untuk dipasarkan di pasaran dunia.

Pemasaran produksi tanaman ekspor dipasaran dunia itu akan mendatangkan keuntungan besar baik kepada pemerintah maupun para penguasa di Negeri Belanda, sehingga utang negeri induk segera bisa dibayar.

Sejatinya, pemikiran Van den Bosch tentang cultuurstelsel tak pernah dirumuskan dengan eksplisit. Ia hanya mendasarkan sistem itu pada prinsip yang berkembang umum di kalangan elit Belanda.

Mereka menganggap, desa-desa di Jawa berutang pajak tanah atau landrent kepada pemerintah yang diperhitungkan sebesar 40 persen dari hasil panen utama di desa.

Dalam kenyataannya, taksiran itu sulit diwujudkan karena minimnya administrasi dan kurangnya mata uang. Van den Bosch merencanakan, setiap desa harus menyisihkan tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor seperti kopi, tebu dan nila agar dijual kepada pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan.

Asumsi itulah yang mendorong van den Bosch meyakini desa bakal mampu melunasi utang pajak tanah. Ia menargetkan angka 20 persen sudah cukup untuk tujuan ini. Jika pendapatan desa dari penjualan hasil panen kepada pemerintah melebihi nilai pajak tanah yang harus dibayar, maka desa berhak menerima kelebihan dan begitu sebaliknya.

Masalahnya, alih-alih mematangkan rencana untuk menghidupkan desa dengan pertanian agar sanggup membayar pajak, Van den Bosch justru lebih banyak berbicara tentang produksi komoditas ekspor sebagai hal yang lebih menguntungkan bagi desa dibanding menanam padi.

Baca Juga : Cultuurstelsel, Cara Kolonial Merampok Jawa

Sebagai pengganti dari pendapatan tak pasti dari pajak tanah, pemerintah akan mendapatkan komoditas murah yang menurut perkiraannya masih sanggup bersaing dengan gula produksi Hindia Barat yang dihasilkan oleh tenaga budak.

Komoditas-komoditas itulah yang kemudian dikapalkan ke Eropa oleh Perusahaan Dagang Belanda (NHM) sekaligus mematahkan dominasi Inggris di kawasan Malaya-Indonesia dan menambah penghasilan angkutan kepada Belanda.

Untuk mengawasi pelaksanaan cultuurstelsel, Van den Bosch mendirikan Kantor Budidaya Tanaman yang dipimpin seorang direktur dibantu sejumlah inspektur.

Pejabat di kantor ini tak hanya memberi nasihat kepada residen tentang cara-cara melakukan percobaan budidaya tanaman dagang dan pembukaan daerah baru untuk penanaman, namun juga memeriksa hasilnya.

Pengolahan beberapa jenis tanaman dagang tertentu khususnya tebu, dikontrakkan kepada pengusaha swasta yang menerima uang muka dari pemerintah dan setuju menjual hasil buminya kepada pemerintah.

Kontrak model ini dianggap sangat menguntungkan dan pendapatan yang diterima administrator sipil, keluarga, dan sejawat mereka bertambah besar.

Namun, pada praktiknya cultuurstelsel Van den Bosch tak pernah memiliki sistem sama sekali karena banyak variasi antara daerah satu dengan yang lain.

Dari konsep tentang keuntungan bagi semua pihak, yang terjadi justru lebih kisah-kisah pemerasan terang-terangan dan masif dalam sejarah penjajahan.

Melalui sistem ini, pemerintah mampu membalikkan penurunan ekonomi Belanda hanya dalam waktu tiga tahun. Namun Jawa, bagaimanapun, berubah menjadi pabrik pemeras pertanian.

Selain harus menyerahkan lahan yang ditunjuk untuk produksi kepada pemerintah, membayar pajak tinggi kepada Belanda dan ‘zakat’ untuk majikan lokal, petani dilarang secara hukum untuk pindah dari kampung halaman mereka.

Transaksi-transaksi curang berkembang di kalangan pejabat pribumi, orang-orang Belanda dan terutama para pengusaha Cina. Pemerintah kolonial tak pernah sanggup memantau dan mengawasi pelaksanaan perintah-perintahnya kecuali dengan cara yang paling umum.

Ketika kelaparan atau gagal panen terjadi, secara harfiah tidak ada jalan keluar. Akibatnya, puluhan ribu petani meninggal karena kelaparan. Sementara itu, pemerintah Belanda dan feodal tumbuh kaya makmur dari hari ke hari.

R.E Elson dalam Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa menghitung pada tahun 1840 keseluruhan tenaga kerja tani yang terlibat dalam cultuurstelsel mencapai 73 persen sementara di Banten, Banyumas dan Kedu keterlibatan tenaga kerja tani bahkan mencapai 100 persen.

Presentasi keterlibatan petani bagaimanapun menunjukkan eksploitasi yang terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di Jawa. Dengan jumlah penduduk di akhir abad ke 18 mencapai 3-5 juta orang, pada tahun 1830 populasi di Jawa melejit menjadi 7 juta, dan 9,5 juta di tahun 1850 dan 16,2 juta di tahun 1870 serta 23 juta jiwa pada tahun 1890.

Baca juga : Nasib Tragis Para Pembongkar Kejahatan Kolonial

Peningkatan lima hingga delapan kali jumlah populasi di seluruh negeri inilah yang dianggap menjadi salah satu penopang utama keberhasilan tanam paksa.

Pada rentang 1831-1871 Jawa menghasilkan keuntungan bersih sebesar 823 juta gulden untuk kas Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja negeri itu disumbang dari hasil cultuurstelsel.

Bahkan pada tahun 1860, 72 persen penerimaan kerajaan disumbang dari Oost Inische atau Hindia Belanda.

Penghasilan berlimpah dan stabil inilah yang membuat perekonomian Belanda mencapai era keemasannya. Selain utang-utang bisa dilunasi dan menurunkan pajak di negeri induk, Belanda juga membangun jalan kereta api dan menjadikan Amsterdam sebagai pasar dunia paling penting bagi hasil bumi daerah tropis.

Langsung atau tidak, Jawa yang menjadi sumber modal utama Belanda justru makin melarat dan miskin. Jawa dalam Max Havelaar mirip kisah Adinda yang mati sia-sia dan Saijah yang putus asa menusukkan tubuhnya ke bayonet kompeni.

Ketika Max Havelaar dipublikasikan pada tahun 1859, buku itu seperti menjadi kitab suci orang-orang liberal untuk mewujudkan reformasi di Hindia. Dengan Max Havelaar, mereka menelanjangi dan membuat malu Pemerintah Belanda sekaligus menggagas kebijakan baru yang dikenal sebagai politik etis yang mempromosikan irigasi, migrasi antar pulau, dan pendidikan di Hindia Belanda.

Meski tampak sederhana pada awalnya, reformasi itu membuka jalan bagi anak-anak penguasa tradisional untuk mengenyam pendidikan ala Barat yang kelak menanamkan kesadaran kebangsaan.

Mereka inilah yang menjadi segelintir orang-orang yang menyemai dan memupuk gerakan emansipasi dan kebangkitan di awal abad ke-20 sekaligus meletakkan dasar bagi revolusi sepenuhnya di tahun 1940an.(TGU)