DUNIA hiburan Indonesia tahun 70-an pernah memiliki seorang artis serba bisa. Ia pandai menyanyi, bermain sandiwara, bahkan film. Namanya Tan Tjeng Bok, alias “Si Item”. Pada era keemasan tonil ia bahkan dikenal dengan nama “Douglas Fairbanks van Java”.
Tan Tjeng Bok lahir di Jembatan Lima Batavia 1899, dari pasangan Tionghoa (ayah) Tan Soen Tjiang dan Betawi (ibu) bernama Darsih.
Sekolah Tan Tjeng Bok tidak pernah sampai tamat. Kegagalan ini ditengarai karena perangainya yang nakal dan kepala batu atau biasa disebut “Banpwee”, hingga sang ayah memutuskan untuk memberhentikannya dari sekolah.
Karir
Setelah diusir dari rumah, ia diterima dalam perkumpulan keroncong di bawah pimpinan Tan Beng Goan, meskipun hanya ditugaskan membersihkan alat-alat musik dan menjadi pelayan. Misalnya, membeli rokok dan mengambil air minum untuk anggota-anggota orkes, namun Tjeng Bok tetap gembira karena cita-citanya yang ingin jadi penyanyi.
Suatu hari, di Bandung diadakanlah keroncong konkurs. Waktu itu seorang yang berwajah hitam, bertubuh tinggi besar, dan bersuara keras tampil menyanyi tanpa mikrofon, namun suaranya terdengar sampai cukup jauh. Bahkan ketika ia selesai menyanyi, suara tepuk tangan terus bergemuruh memberikan penghormatan.
Penyanyi itu adalah Tan Tjeng Bok, ia menggantikan Beng Oen karena sebuah alasan tidak bisa tampil dalam konkurs tersebut. Sebelumnya, Beng Goan memang sempat mengajarkan menyanyi, hingga akhirnya ia dipaksa untuk tampil menggantikan Beng Oen. Di hari Itulah debut pertama Tjeng Bok sebagai penyanyi dimulai. Semenjak itu, nama “Si Item” penyanyi dengan suara keras terkenal di antara para peminat keroncong di Bandung.
Setelah malang melintang berkesenian di Bandung, Tan Tjeng Bok pindah ke Jakarta. Perhatiannya pun mulai beralih dari keroncong ke pertunjukan wayang China, semacam stamboel atau komedi bangsawan. Dia pun sempat menjadi pesuruh rombongan Sui Ban Lian, yang bermain tetap di Sirene Park di Jalan Hayam Wuruk.
Tjeng Bok tidak pernah kapok dihajar sang ayah, hingga pada suatu malam Imlek, ia bergabung dengan grup lenong Si Ronda pimpinan Ladur. Rombongan tersebut berencana keliling ke daerah perkebunan-perkebunan di Jawa Barat, sehabis Imlek. Sang ayah kali ini tak dapat lagi menoleransi perilaku anaknya. Ia kembali lagi diusir.
Tjeng Bok jalan terus. Enam bulan pentas keliling bersama grup Si Ronda, sekembalinya ke kota Bandung, ia bergabung dengan Stambul Indra Bangsawan. Awalnya sebagai tukang membenahi panggung, tapi kemudian pemimpin pentas (toneel director) Djaffar Toerki menariknya sebagai pemain pembantu. Karena tak kerasan, dia kemudian beralih ke orkes Hoetfischer pimpinan Gobang, dan ia kembali menyusur karier sebagai biduan.
Kemudian ketika berpentas keliling Jawa Tjeng Bok bergabung dengan opera Dardanella pimpinan Piedro atau Pyotr Litmonov, seorang keturunan Rusia kelahiran Penang, Malaka. Bersama grup opera Dardanella ia berkeliling dari Sabang sampai Merauke. Ketika Dardanella tutup layar pada awal tahun 1940-an, Tjeng Bok lalu ikut sandiwara keliling Orpheus pimpinan Manoch. Kemudian juga Star pimpinan Afiat. Namun tidak satupun grup-grup itu berhasil mengulang suksesnya seperti Dardanella.
Menjelang Kekaisaran Jepang masuk ke Hindia Belanda, di Batavia berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah Tjeng Bok masuk babak baru dunia perfilman. Film-film yang disutradarai oleh Tan Tjoei Hock, antara lain Melarat Tapi Sehat dan Si Bongkok dari Borobudur, Si Gomar, Singa Laoet, Srigala Item, dan Tengkorak Hidoep. Nama Tjeng Bok saat itu sejajar dengan aktris top pada zamannya, seperti Fifi Young, Aminah Cendrakasih, Marlia Hadi, dan Moh Mochtar.
Akhir Hidup Tan Tjeng Bok
Kesuksesan ternyata telah membuatnya lupa daratan. Tan Tjeng Bok adalah lelaki yang gemar berfoya-foya. Gaya hidupnya yang boros menjadikannya melarat pada usia senja, sehingga pernah melakoni hidup sebagai kernet oplet dan tukang obat. Ketika dirawat di rumah sakit, surat kabar Sinar Harapan pernah membuka program donasi Dompet Tan Tjeng Bok dan berhasil menghimpun dana lebih dari dua puluh juta rupiah. Padahal sebelum meninggal, ia masih menikmati bermain di sejumlah film dan sinetron di televisi. Termasuk dalam Komedia Jakarta dan Senyum Jakarta di TVRI.
Dari 100 perempuan yang pernah mampir dalam hidup Tjeng Bok, tinggal Sarmini–perempuan asal Bojonegoro yang dinikahinya pada 1947– yang menemani hingga akhir hayatnya. Dengan Sarmini, ia memiliki dua anak, Nawangsih dan Sri Anami.
Pada 15 Februari 1985, Tan Tjeng Bok, seniman tiga zaman ini meninggal dunia karena serangan jantung. Delapan belas tahun kemudian, pemerintah mengakui jasa-jasanya dengan menganugerahkan tanda jasa Bintang Budaya Parama Dharma. [S21]