Koran Sulindo – Pelaku korupsi bukan hanya aparat penyelenggara negara, tapi juga melibatkan pihak swasta. Diungkapkan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, 80% kasus korupsi di Indonesia melibatkan pihak swasta. Setidaknya ada 198 pihak swasta yang terlibat kasus korupsi sejak 2002 lampau. Dan, belakangan ini, jumlahnya meningkat.
“Modusnya suap dan gratifikasi,” ujar Bambang pada acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, Selasa (4/11).
Kalau tak dicegah, lanjutnya, tindak kejahatan luar biasa itu dapat menganggu perekonomian Indonesia. Karena, kebiasaan berbisnis yang koruptif ini dapat menurunkan produktivitas.
Perilaku korupsi pihak swasta juga dapat mengganggu daya tarik investasi di Indonesia.Karena, perilaku tersebut akan memunculkan persepsi bahwa pengurusan perizinan di Indonesia haruslah menyuap birokrat.
“Kalau sampai muncul persepsi, sudah pasti investasi turun,” tutur Bambang.
Dampak perilaku korupsi pihak swasta juga dapat mematikan wiraswasta serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebabnya, perilaku korup itu menimbulkan ketidakadilan dalam kompetisi bisnis. Padahal, wiraswasta dan UMKM diperlukan untuk membuat ekonomi Indonesia maju.
“Wiraswasta dan UMKM harus kita jaga untuk masa depan,” katanya.
Pemerintah sendiri, tambahnya, telah membuat Strategi Nasional (Stratnas) tentang Pencegahan Korupsi, yang antara lain ditujukan untuk mencegah korupsi di sektor swasta. Dalam stratnas ini juga diatur soal beneficial ownership (BO), khususnya di sektor pertambangan.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarief menduga, sekarang banyak usaha tambang dan kebun ilegal di Indonesia. Pelindungnya usaha haram itu adalah petinggi-petinggi bersenjata.
Dengan beking seperti itu, tambang dan kebun ilegal tersebut dibiarkan beroperasi meski perizinannya bermasalah. “Banyak sekali pelindung usaha-usaha tambang ilegal dan kebun ilegal dan kebanyakan para petinggi yang bersenjata,” kata Laode M. Syarief.
KPK, lanjutnya, mencatat ada 5.000 dari 10 ribu izin tambang yang sekarang tidak lengkap dan tidak bersih. Misalnya ada tambang yang beroperasi meski belum mengantongi izin.
Juga ada tambang yang beroperasi meski perusahaannya tak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ada pula usaha tambang yang tidak melaporkan hasil pengerukannya secara berkala.
“Ada di Bea-Cukai, yang-dikirim dengan pelabuhan tempat negara diekspor berbeda jumlahnya. Jadi, dari segi pendapatan, negara kita sangat-sangat rugi,” tutur Laode.
Tambang ilegal itu selama ini, tambahnya, kerap dibiarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pemerintah daerah setempat. Padahal, kedua otoritas itu punya kewenangan menutup tambang tak berizin.
Yang juga membiarkan masalah ini, diungkapkan Laode lagi, adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ada beberapa tambang atau kebun yang izin lahannya diduga berseberangan dengan hutan lindung.
Malah, tutur Laode, ada usaha sektor tersebut masuk dalam kawasan gambut tebal yang sudah dilarang melalui peraturan. “Mengapa dibiarkan? Coba tanyakan,” ujarnya.
Namun, Laode sendiri mengakui, KPK kesulitan mengusut kasus ini. Karena, KPK harus lebih dulu melakukan pembuktian, apakah masalah itu memang sengaja dibiarkan oleh regulator. “Saya pikir presiden harus turun tangan karena banyak sekali beking yang enggak jelas,” katanya.SEBENARNYA, sejak beberapa tahun lalu, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan, dan sumber daya alam, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sudah menginformasikan soal ini. Tahun 2016 lalu, misalnya, Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah mengungkapkan, triliunan rupiah uang haram diduga mengalir setiap tahun pada sektor tambang. Penyebabnya: kurangnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan.
“Dari kajian PWYP, dugaan aliran uang haram sektor pertambangan mencapai Rp 23,89 triliun pada tahun 2014,” tutur Maryati pada tahun 2016 lampau, seperti dikutip banyak media.
Diperkirakan, aliran uang haram itu berasal dari transaksi perdagangan ilegal (misinvoicing trade) dan “uang panas” pengelolaan sektor tambang. Data dari Kementerian ESDM sendiri mencatat, ada potensi kerugian negara US$ 1,2 miliar hingga 1,5 miliar atau setara Rp 18,3 triliun karena ekspor illegal batubara. Terhitung ada 30 juta ton sampai 40 juta ton batubara yang keluar dari Indonesia melalui perdagangan ilegal.
Akan halnya uang panas pengelolaan sektor tambang berasal dari praktik pencucian uang, korupsi, pengemplangan pajak, dan transaksi ilegal. PWYP menemukan praktik itu terjadi karena dugaan tidak dicatatnya transaksi bisnis.
KPK sendiri pada tahun 2014 menemukan sekitar Rp 28,5 triliun potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batubara hilang pada. “Ini diduga terjadi karena maraknya tambang-tambang ilegal yang beroperasi dan kasus ekspor komoditas pertambangan yang tidak tercatat,” kata Maryati lagi.
Amburadulnya pengelolaan sektor tambang ini jelas melahirkan dampak ikutan yang tak kalah mengerikannya dari tindak kejahatan korupsi an sich. Dampak ikutan itu antara lain terjadinya kerusakan lingkungan yang parah, maraknya sengketa lahan, serta munculnya konflik-konflik sosial di berbagai daerah, yang kerap terjadi belakangan ini. [RAF]