SEBENARNYA, sejak beberapa tahun lalu, koalisi masyarakat sipil untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas, pertambangan, dan sumber daya alam, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, sudah menginformasikan soal ini. Tahun 2016 lalu, misalnya, Koordinator Nasional PWYP Indonesia Maryati Abdullah mengungkapkan, triliunan rupiah uang haram diduga mengalir setiap tahun pada sektor tambang. Penyebabnya: kurangnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan.
“Dari kajian PWYP, dugaan aliran uang haram sektor pertambangan mencapai Rp 23,89 triliun pada tahun 2014,” tutur Maryati pada tahun 2016 lampau, seperti dikutip banyak media.
Diperkirakan, aliran uang haram itu berasal dari transaksi perdagangan ilegal (misinvoicing trade) dan “uang panas” pengelolaan sektor tambang. Data dari Kementerian ESDM sendiri mencatat, ada potensi kerugian negara US$ 1,2 miliar hingga 1,5 miliar atau setara Rp 18,3 triliun karena ekspor illegal batubara. Terhitung ada 30 juta ton sampai 40 juta ton batubara yang keluar dari Indonesia melalui perdagangan ilegal.
Akan halnya uang panas pengelolaan sektor tambang berasal dari praktik pencucian uang, korupsi, pengemplangan pajak, dan transaksi ilegal. PWYP menemukan praktik itu terjadi karena dugaan tidak dicatatnya transaksi bisnis.
KPK sendiri pada tahun 2014 menemukan sekitar Rp 28,5 triliun potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batubara hilang pada. “Ini diduga terjadi karena maraknya tambang-tambang ilegal yang beroperasi dan kasus ekspor komoditas pertambangan yang tidak tercatat,” kata Maryati lagi.
Amburadulnya pengelolaan sektor tambang ini jelas melahirkan dampak ikutan yang tak kalah mengerikannya dari tindak kejahatan korupsi an sich. Dampak ikutan itu antara lain terjadinya kerusakan lingkungan yang parah, maraknya sengketa lahan, serta munculnya konflik-konflik sosial di berbagai daerah, yang kerap terjadi belakangan ini. [RAF]