Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ibu Iriana meresmikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di Stasiun Halim, Jakarta, pada Senin, 2 Oktober 2023. Kereta dengan kecepatan 350 kilometer per jam yang diberi nama WHOOSH tersebut merupakan kereta cepat pertama di Indonesia.
Presiden menjelaskan bahwa nama Whoosh dipilih sebagai nama KCJB yang terinspirasi dari suara yang melesat dari kereta berkecepatan tinggi tersebut. Selain itu, nama tersebut merupakan singkatan dari waktu hemat, operasi optimal, sistem hebat.
Menurut Presiden, KCJB merupakan hal baru bagi Indonesia. Presiden pun berharap jajarannya tidak akan takut untuk belajar dan mencoba hal-hal baru dalam mengembangkan sejumlah proyek transportasi massal di Tanah Air, meskipun dalam prosesnya akan timbul hal yang tidak terduga, kesulitan, masalah, hingga ketidaksempurnaan.
“Pengalaman itu mahal, namun sangat berharga dan kita tidak perlu takut karena jika kita konsisten, kesalahan itu akan makin sedikit. Biaya kesalahan juga akan makin menurun dan pada akhirnya biaya produksi, biaya proyek juga akan makin rendah,” ucap Presiden.
Presiden pun minta jajarannya untuk tetap semangat dan menerima kritik dari masyarakat sebagai bahan masukan dalam melakukan pembangunan di Tanah Air. Hal tersebut penting sebagai bekal untuk menghasilkan pembangunan infrastruktur dan transportasi massal yang lebih baik di masa mendatang.
Whoosh akhirnya beroperasi setelah menempuh proses 6 tahun 10 bulan, tepatnya sejak proyek ini dimulai dengan peletakan batu pertama di kawasan di Walini, Kabupaten Bandung Barat, pada Januari 2016. Dalam perjalanannya, proyek ini penuh kontroversi, antara lain karena menelan biaya yang sangat tinggi. Ketika dicanangkan, pemerintah menyatakan diperlukan investasi sekitar Rp 86,5 triliun. Dananya akan ditanggung korporasi, bukan dari anggaran negara. Belakangan, biaya proyek ini membengkak menjadi US$ 7,27 miliar atau sekitar Rp 108 triliun.
Setelah biaya membengkak, pemerintah dan para kontraktor kereta cepat harus berakrobat, dari menambah pinjaman hingga mengatur kebijakan penjaminan utang. Muncul pula pertanyaan tentang harga jual tiketnya, yang sudah pasti tak murah untuk kalangan menengah-bawah.
Masalah yang membebani
Ketika Whoosh melintasi wilayah Karawang, Jawa Barat, laju kereta sempat menembus 351 kilometer per jam. Saking melesatnya kereta, sebuah stasiun di Karawang hanya terlihat sekelebat. Dulu, ketika pemerintah merancang Whoosh, stasiun di tengah sawah itu akan menjadi salah satu perhentian untuk naik-turun penumpang. Kini bangunan besar itu mangkrak tak terpakai.
Tahun 2021 KCIC membangun Stasiun Kereta Cepat Karawang yang terletak di dekat Sungai Cibeet, 1 kilometer dari Jalan Raya Pangkalan. Kini, setelah Whoosh beroperasi, stasiun itu tak bisa dipakai karena tak memiliki akses jalan yang memadai. “Pengelola kawasan itu belum mau membuat akses,” tutur Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaringan kereta kecepatan tinggi di Indonesia
KCIC sebenarnya menyiapkan tiga opsi akses Stasiun Karawang. Opsi pertama adalah membuat gerbang jalan tol baru di Kilometer 42 jalan tol Jakarta-Cikampek dan membangun jalan tembus sampai ke stasiun. Opsi kedua adalah membangun akses dari Deltamas menyeberangi Sungai Cibeet. Adapun pilihan ketiga adalah membuat jalan tembus ke Jalan Trans Heksa KJIE dengan biaya Rp 276 miliar. Tapi sampai saat ini belum ada yang dieksekusi. Walhasil, Stasiun Karawang menjadi tontonan semata, seolah-olah tanpa guna.
Stasiun Karawang kini menjadi beban bagi KCIC karena sudah menyedot biaya tapi tak menghasilkan fulus sepeser pun. Persoalan lain yang juga ada di depan mata adalah tingkat keterisian atau okupansi kereta yang dikhawatirkan tak mencapai target. Jika okupansi tak memenuhi batas minimal, kerugian operasi Whoosh akan makin besar.
Kapan titik impas
Biaya yang besar adalah biaya operasional dan perawatan. Guna mempercepat operasi kereta cepat, KCIC memasrahkan bagian ini kepada Operation and Maintenance Consortium atau OMC, yang dikelola PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI dan China Railway Engineering Corporation atau CREC pada tahun pertama.
CREC, melalui anak usahanya, Tianyou Jingtie Engineering Consulting (TIJEC) Co Ltd, awalnya menawarkan jasa OMC US$ 118,5 juta (Rp 1,8 triliun) per tahun. Dari jumlah itu, US$ 101 juta digunakan untuk menggaji 852 pegawai asal Cina dan sisanya menjadi beban perusahaan. Sedangkan KAI meminta Rp 59,3 miliar per tahun dengan rincian Rp 39,3 miliar untuk menggaji 95 pegawai dan Rp 20 miliar sebagai beban perusahaan.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan kesepakatan tercapai setelah Cina mau membayar sendiri sebagian biaya OMC. “Pegawai Cina yang bekerja di sini dibiayai oleh mereka, semacam kontribusi pada ekuitas KCIC,” katanya. Konsekuensinya, saham konsorsium perusahaan Cina di KCIC bakal bertambah.
Pada tahap awal pendapatan KCIC tak akan cukup untuk menutup beban operasi Whoosh. Dia pun tak berani menyebutkan kapan titik impas atau break-even point tercapai. “Baru bisa dilihat setelah setahun beroperasi. Kalau sekarang, mau bikin skenario apa pun belum kelihatan,” ucap Seto.
Tambal sulam pembiayaan
Pemerintah kini mencari berbagai jalan agar Whoosh bisa tetap beroperasi di tengah pembengkakan biaya dan melesetnya berbagai proyeksi. Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan merancang sederet skema, termasuk dengan menambal-sulam pendapatan dan menambah utang.
Salah satu usulan Komite Kereta Cepat adalah penyisihan sebagian penghasilan KAI, pemimpin konsorsium perusahaan Indonesia di KCIC, untuk membiayai operasi Whoosh. Caranya adalah memakai sebagian pendapatan KAI dari pengangkutan batu bara di Sumatera dalam tabungan dana penyisihan alias sinking fund. Pada 2022, misalnya, pendapatan KAI dari pengangkutan batu bara mencapai Rp 8,4 triliun, jauh lebih banyak dari pendapatan dari pengangkutan penumpang yang sebesar Rp 6,9 triliun.
Selain pembentukan sinking fund, opsi yang muncul adalah menambah utang US$ 569 juta (Rp 8,9 triliun) kepada China Development Bank (CDB) untuk menambal pembengkakan biaya kereta cepat. Utang ini akan menjadi beban KAI. Pemerintah, melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), akan memberikan jaminan atas utang tambahan itu. “Hasil asesmen dalam rapat koordinasi tingkat menteri tersebut menunjukkan skema ini solid,” tutur seorang pejabat yang mengetahui isi rapat tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang penjaminan pemerintah untuk proyek kereta cepat pada 31 Agustus lalu. Aturan ini adalah turunan dari Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang salah satu isinya membuka peluang penggunaan anggaran negara dalam proyek kereta cepat.
Menurut Septian Hario Seto, meski pemerintah akhirnya “turun” dalam proyek ini, ada instrumen yang bisa dipilih agar anggaran negara tak mesti keluar. Penjaminan dari PII, dia menerangkan, menjadi jalan keluar atas persoalan itu. “Kami kasih penjaminan utang KAI, dan KAI diperkuat,” ujarnya. Seto mengaku tak khawatir terhadap KAI yang bakal menanggung beban berat karena kondisi keuangan perusahaan kereta pelat merah itu cukup solid. Pada 2022, KAI mencetak laba Rp 1,6 triliun dan pendapatan sebelum pajak Rp 4 triliun. [KS-07]