Taman Sari Bangsa-bangsa

Ilustrasi

Koran Sulindo – Apakah hubungan nasionalisme dengan teori Marxis?

Dalam sebuah artikel berjudul ‘Soekarno oleh…Soekarno Sendiri’, yang terbit di surat kabar Pemandangan, tahun 1941, Bung Karno menilai teori Marxis merupakan pisau bedah yang tajam untuk menelaah aneka problem dalam masyarakat terjajah. Begini cuplikannya:

“…teori Marxisme…adalah satu-satunya teori yang saya anggap competent buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan. Marxisme itulah yang membuat saya punya nasionalisme berlainan dengan nasionalismenya nasionalis Indonesia yang lain.”

Cuplikan itu menjelaskan kegunaan teori Marxis bagi konstruksi nasionalisme Indonesia yang dicanangkan oleh Bung Karno. Dengan menyatakan soal itu, Bung Karno ingin menarik garis pembeda dengan gagasan nasionalisme dalam bentuk lain. Dengan demikian, bagi Bung Karno, nasionalisme tidak cukup hanya dimaknai sekadar sebagai cinta Tanah Air atau ekspresi sentimen romantik tentang kecintaan atas negeri sendiri, meskipun ia tidak menampik eskpresi semacam itu. Dalam artikel yang sama, Bung Karno menulis:

“…itulah sebabnya, saya sering bertentangan faham dengan sebagian dari kaum nasionalisme ‘kebangsaan’, saya punya nasionalisme tidak meninggikan kemegahan ‘bangsa’ dan ‘negeri’ di atas bangsa lain dan negeri lain, saya punya nasionalisme mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia daripada kemegahan ‘nama’ Indonesia…Mere­ka punya nasionalisme satu nasionalisme ‘bangsa’, saya punya nasionalisme satu nasionalisme ‘masyarakat’.

Kepopuleran Bung Karno sebagai Bapak Nasionalisme Indonesia sering disalahartikan bahwa jiwa kebangsaan yang dicanangkannya identik dengan menggelorakan sentimen dan fanatisme cinta Tanah Air. Ekspresi semacam ini jelas berada di luar konsep dasar nasionalisme Bung Karno.

Ia sendiri sejak awal telah mengingatkan tentang bahayanya menajamkan dan mengeksploitasi sentimen rasa kebangsaan yang dapat berimplikasi pada sikap memusuhi bangsa lain—sesuatu yang justru sangat ditentangnya.

Harus ditegaskan, nasionalisme dalam konsepsi Bung Karno tidak ditujukan untuk memusuhi bangsa atau ras lain, melainkan memusuhi sistem penindasan dari kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Bahkan, nasionalisme Soekarno—sebagaimana yang terungkap dari berbagai pemikirannya terpublikasi sejak masa lalu— juga memusuhi dominasi “borjuis sawo matang” alias “borjuis pribumi”.

Dengan demikian, dari seluruh pemikiran Bung Karno terlihat jelas bahwa konstruksi nasionalisme Indonesia sebagaimana yang diformulasikannya sama sekali tidak didasarkan atas jenis ras tertentu, namun didasarkan atas keadilan sosial dan pemihakan terhadap mereka yang tertindas dari sistem feodalisme, kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.

Bung Karno kerap mengingatkan agar kebangsaan Indonesia tidak terjerumus ke sifat chauvinisme, yaitu rasa kebangsaan yang sempit. Rasa kebangsaan yang sempit, yang ‘kekanakan-kekanakan’ merupakan penyakit kebangsaan yang tumbuh di dalam kapitalisme.

Selain kemunculannya diakibatkan oleh keharusan hidup kapitalisme, menurut Bung Karno chauvinisme juga bisa muncul sebagai akibat politik “katak di bawah tempurung”, politik terlalu percaya kepada diri sendiri, tidak menyadari bahwa kapitalisme di abad ke 20 sudah sangat global sifatnya.

Karena itu, Bung Karno pernah melontarkan gagasan ‘kekeluargaan bangsa-bangsa’, dengan memberi bersyarat harus “memperhatikan kedudukan perjuangan rakyat indonesia itu sebagai satu bagian daripada satu revolusi besar internasional.” Dalam pidato Lahirnya Pancasila gagasan itu muncul dalam frase “taman sari antar bangsa-bangsa”.

Gagasan “kekeluargaan bangsa-bangsa” muncul dalam risalah Bung Karno yang terkenal, Mentjapai Indonesia Merdeka, yang terbit pertama kali di tahun 1933: “Marilah kita juga mengadakan eenheidsfront dari pada prajurit-prajurit kemerdekaan Asia. Jikalau Banteng Indonesia sudah bekerja bersama-masa dengan Sphinx dari Negeri Mesir, dengan Lembu Nadi dari Negeri India, dengan Liong-barongsai dari Negeri Tiongkok, dengan kampiun-kampiun kemerdekaan dari negara lain, wahai, tentu hari-harinya internasional-imperialisme itu segera terbilang!”

Kerja sama negara-negara Asia-Afrika itu, yang oleh Bung Karno dinyatakan dengan simbol-simbol binatang, pada mulanya bertujuan mencapai kemerdekaan politik (untuk masing-masing negara), dan akhirnya menuju kepada persaudaraan bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Jika saja konsepsi Bung Karno tentang “taman sari bangsa-bangsa” itu diterima dan diterapkan dalam pergaulan dunia, besar kemungkinan situasi dunia internasional tidak sengkarut seperti sekarang. [Imran Hasibuan]