Jika di banyak budaya gender sejatinya hanya terbagi dua, yakni laki-laki dan perempuan, maka hal ini tidak berlaku di tengah masyarakat Bugis. Suku bangsa terbesar di daratan Sulawesi Selatan ini memiliki tradisi unik yang mengakui lima kategori gender. Tradisi ini bukan sekadar warisan sosial, melainkan bagian tak terpisahkan dari struktur budaya dan spiritualitas mereka yang telah mengakar selama berabad-abad.
Melalui pengakuan terhadap lima gender tersebut, masyarakat Bugis membuktikan bahwa identitas manusia bisa jauh lebih kompleks daripada sekadar batasan biologis. Dalam kisah mereka, terdapat jejak kearifan lokal yang memahami keberagaman sebagai kekuatan, bukan penyimpangan.
Seperti apakah lima gender yang diakui dalam budaya Bugis itu? Mari kita menelusuri lebih dalam.
Gender-Gender dalam Tradisi Bugis
Di tanah subur Sulawesi Selatan, berdiri tegak salah satu suku bangsa terbesar di kawasan tersebut bernama Suku Bugis. Mereka tidak hanya dikenal karena semangat pelautnya, tapi juga karena kearifan budayanya yang kompleks dan kaya akan nilai-nilai luhur. Salah satu aspek paling unik dari masyarakat Bugis adalah pengakuan mereka terhadap lima kategori gender, sebuah konsep yang jauh melampaui pandangan biner tentang laki-laki dan perempuan yang umum dikenal masyarakat luas.
Secara geografis, masyarakat Bugis menyebar dari wilayah Maros dan Pangkep di bagian selatan hingga Pinrang di bagian utara, serta merambah ke timur di daerah Bone dan Bulukumba. Di tengah kebudayaan mereka yang kuat berakar, lahirlah satu konsep sosial dan spiritual yang tak tertandingi: keberadaan Bissu, gender kelima yang memiliki posisi sakral dalam struktur sosial Bugis.
Melansir laman Good News From Indonesia, berdasarkan penelitian antropolog Australia, Sharyn Graham, dalam karya ilmiahnya Sex, Gender, and Priests in South Sulawesi, Indonesia (2002), masyarakat Bugis secara tradisional mengenal lima gender:
1. Oroané – laki-laki sebagaimana konsep maskulinitas pada umumnya.
2. Makunrai – perempuan dalam pengertian biologis dan sosial.
3. Calalai – perempuan yang mengambil peran sosial dan ekspresi gender laki-laki.
4. Calabai – laki-laki yang mengekspresikan diri dalam bentuk dan peran perempuan, namun tidak menganggap diri sebagai perempuan.
5. Bissu – perpaduan dari keempat gender lainnya, yang diyakini sebagai manusia suci dan perantara spiritual.
Calalai dan Calabai
Calalai adalah individu yang secara biologis perempuan namun menjalani kehidupan sosial seperti laki-laki. Mereka kerap bekerja di bidang-bidang yang identik dengan maskulinitas, seperti menjadi pandai besi, keluar malam, dan merokok. Masyarakat Bugis menerima kehadiran mereka karena memahami bahwa peran sosial tidak selalu harus mengikuti jenis kelamin biologis.
Sementara itu, Calabai adalah laki-laki yang berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan. Namun, mereka tidak menganggap dirinya sebagai perempuan sejati dan tidak menempuh jalan transeksual. Calabai sangat berperan dalam adat istiadat, khususnya dalam urusan pernikahan. Dalam upacara adat Bugis, Calabai berperan sebagai indo’ botting yang menangani segala keperluan prosesi, dari menentukan hari baik hingga dekorasi pernikahan.
Calabai sendiri diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, menurut Latief (2005):
1. Calabai tungke’na lino: memiliki derajat tertinggi, bahkan bisa menjadi Bissu.
2. Paccalabai: yang bisa berelasi dengan laki-laki maupun perempuan.
3. Calabai kedo-kedonami: dianggap memiliki status sosial paling rendah.
Bissu
Namun di atas semua itu, Bissu menempati posisi paling istimewa. Mereka bukan laki-laki, bukan perempuan, dan bukan pula perpaduan keduanya secara sederhana. Bissu diyakini sebagai to manurung—manusia suci yang turun dari langit bersama Batara Guru, tokoh penting dalam mitologi Bugis yang tercatat dalam epos I La Galigo.
Secara etimologis, kata “Bissu” berasal dari “bessi”, yang berarti bersih atau suci. Sementara Pelras dalam Manusia Bugis (2006) menyebut kemungkinan asal katanya dari “Bhiksu”, pendeta dalam agama Buddha. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh bahasa dan nilai spiritual dari India kuno yang masuk ke tanah Bugis sebelum kedatangan Islam.
Peran sosial Bissu dalam masyarakat Bugis sangat luas, mulai dari mengobati orang sakit, menjaga pusaka kerajaan (arajang), meramal masa depan, hingga menjadi pemimpin upacara-upacara sakral seperti pernikahan, kelahiran, dan panen. Mereka juga memiliki kewenangan dalam urusan politik kerajaan, seperti melantik dan mendampingi raja.
Ancaman dan Tragedi
Sayangnya, keberadaan Bissu sempat mengalami masa kelam. Pada dekade 1950-an, kelompok pemberontak DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar memburu dan membantai para Bissu atas dasar pemurnian ajaran Islam. Mereka dianggap musyrik, menyalahi kodrat, dan tak mau bertobat.
Kekerasan terhadap Bissu tak berhenti di sana. Di masa awal Orde Baru, pemerintah meluncurkan Operasi Toba, yang bertujuan “meluruskan” para Bissu agar menjadi laki-laki tulen. Mereka dituduh sebagai bagian dari PKI, diburu, dan dibunuh. Masyarakat yang dulu menghormati mereka pun terpaksa diam karena ketakutan.
Kini, para Bissu yang masih hidup adalah mereka yang berhasil bersembunyi atau diselamatkan oleh masyarakat yang masih menghargai peran dan keberadaan mereka. Namun jumlah mereka terus menyusut, terancam oleh gelombang modernisasi dan intoleransi.
Warisan gender dalam masyarakat Bugis adalah bukti bahwa konsep identitas tidak selalu harus mengikuti pola global yang sempit. Dalam keragaman gender itu, tersimpan filosofi hidup, struktur sosial, dan spiritualitas yang telah mengakar selama berabad-abad.
Pelestarian terhadap keberadaan Calalai, Calabai, dan khususnya Bissu, bukan hanya tentang melindungi minoritas gender, melainkan juga menjaga pusaka budaya Nusantara yang kian tergerus zaman. [UN]

