Ilustrasi: Syekh Muhammad Yusuf al Maqassari/nu.or.id

Koran Sulindo – Dari “tiga serangkai” mata rantai utama komunitas ulama Jawi di Mekah abad 17, Syekh Muhammad Yusuf al-Maqassari (1627-1699) adalah yang termuda. Kedua pendahulunya merupakan ulama terkemuka dari Aceh: Syekh Nurudin al-Raniri (wafat 1658) dan Syekh Abdurrauf al-Singkili (1615-1693).

Meski begitu, seperti ditulis Azyumardi Azra dalam kitab Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abab XVII dan XVIII (2013: 299): “Dalam kaitannya dengan karir dan ajaran-ajarannya, al-Maqassari tak pelak lagi merupakan salah seorang mujadid terpenting dalam sejarah Islam Nusantara”.

Tokoh ini lahir dengan nama Muhamad Yusuf, di tahun 1626, di wilayah Kerajaan Gowa. Ditanah kelahirannya itu, ia juga dikenal sebagai Tuanta Salameka ri Gowa (Guru Kami yang Agung dari Gowa). Keluarganya termasuk pemeluk Islam awal di Kerajaan Gowa. Ketika Yusuf lahir, Islam tengah menanamkan akar lebih kuat di sejumlah besar penduduk kerajaan-kerajaan di Sulawesi. Orangtua Yusuf sendiri masih termasuk kerabat Raja Gowa.

Dalam catatan lontara yang diwariskan kerajaan Gowa-Tallo, disarikan data bahwa Muhammad Yusuf lahir pada 3 Juli 1628 M, tepat pada 8 Syawal 1036 H. Dengan demikian, ia lahir setelah dua dekade pengislaman kerajaan kembar Gowa-Tallo oleh ulama Minangkabau: Syekh Abdul Makmur, yang dikenal dengan gelar Datuk Ri Bandang.

Catatan Lontara Riwayat Tuanta Salamaka ri Gowa, menyatakan bahwa ayah Syekh Yusuf  bernama Gallarang Moncongloe, yang merupakan saudara dari Raja Gowa Sultan Alauddin Imang’rang’ Daeng Marabbia, yang telah beragama Islam. Sultan Alauddin menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan pada 1603 M. Ibu kandung Syaikh Yusuf adalah Aminah binti Dampang Ko’mara, keturunan bangsawan kerajaan Tallo, kerajaan kembar yang berdampingan dengan kerajaan Tallo.

Yusuf kecil dididik menurut tradisi Islam. Ia mula-mula belajar membaca Al-Qur’an dari guru setempat. Kemudian ia belajar Bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan seorang da’I Arab yang tinggal di Bontoala. Beranjak remaja, ia melanjutkan belajar kepada seorang guru keliling bernama Jalil al-Din al-Aydid, yang belakangan menetap di wilayah Cikoang.

Di akhir tahun 1644, Yusuf memutuskan pergi ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmu. Dari pelabuhan Makassar—yang saat itu telah menjadi mata rantai jaringan perdagangan internasional– ia berangkat menuju Timur Tengah. Persinggahan pertamanya adalah Banten, yang masa itu telah dikenal sebagai salah satu pusat Islam penting di Nusantara. Di Kesultanan Banten ia diterima dengan baik, bahkan berhasil menjalin persahabatan dengan putra mahkota, Pangeran Surya—yang kelak beberapa tahun kemudian naik takhta dengan nama resmi Abd al-Fatah, atau lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah beberapa tahun, Yusuf melanjutkan perjalanan ke Aceh. Maksudnya ingin berguru dengan ulama termasyhur yang menjadi mufti di Kesultanan Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri. Tapi ketika sampai di Aceh, ia mendapati ar-Raniri  sudah kembali ke tanah kelahirannya di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Gujarat.

Demi meneguk ilmu dari ar-Raniri, ia pun melanjutkan perjalanan ke Gujarat. Di sana Yusuf berhasil menemui ar-Raniri dan menimba ilmu dari guru besar tersebut, hingga mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. Di Gujarat, ia juga belajar dengan Umar bin Abd Allah ba Syayban, ulama terkemuka yang juga guru ar-Raniri. Ia pun berhak menyandang gelar Syekh di depan namanya.

Dari Gujarat, perjalanan Syekh Muhamamad Yusuf al-Maqassari berlanjut ke Timur Tengah. Tujuannya adalah negeri Yaman. Di negeri ini ia terutama belajar di Zabid, terutama dengan Muhammad bin Abd al-Baqi al Mizjaji al-Naqsyabandi (wafat 1664), dan beberapa ulama terkemuka lainnya.  Abd al-Baqi al Mizjaji al-Naqsyabandi, yang merupakan ulama terpenting dari keluarga Mizjaji di abad 17, adalah perintis diantara ulama Mizjaji yang memainkan peran semakin penting dalam perluasan jaringan ulama ke banyak bagian benua dunia Islam. Di abad selanjutnya, keluarga Mizjaji diidentikkan dengan tarekat Naqsyabandiyah. (Azra 2013: 275). Dari Abd al-Baqi al Mizjaji al-Naqsyabandi itulah Syekh Yusuf al-Maqassari memperoleh ijazah tarekat Naqsyabandiyah.

Di Yaman pula, Syekh Yusuf al-Maqassari berguru dengan Maulana Sayed Ali al Zabidi, ulama terkemuka dari tarekat Al-Baalawiyah. Ali al Zabidi adalah muhadis besar Yaman dan pemimpin orang-orang terpelajar di Zabid.

Beberapa tahun kemudian, al Maqassari melanjutkan perjalanan ke pusat jaringan ulama di Haramayn: Mekah dan Madinah. Di kedua kota suci ini, al Maqassari belaajar dengan ulama-ulama yang terkemuka, seperti Ahmad Qusyashi, Ibrahim al Kurani, dan Hasan al-Ajami. Al Maqassari terutama berhubungan sangat erat dengan al-Kurani. Kepada guru-gurunya itu, al-Maqassari tak hanya belajar tasawuf, tapi juga ilmu hadis, tafsir, fikih, dan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Dari Haramayn, al-Maqassari berkelana ke Damaskus, pusat pengetahuan lainnya di Timur Tengah. Di kota inilah ia belajar dengan Ayyub al-Khawalti, seorang sufi dan muhadis terkemuka di negeri Syria dan pemimpin tarekat Khalwatiyah. Ulama ini disebut-sebut sebagai al-ustadz al-akbar (guru besar), yang merupakan orang paling terpelajar di Damaskus pada masanya. Dan karena itu, Sultan Ibrahim—penguasa Syria—sering meminta nasihat Ayyub al-Khawalti dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam dan mistikisme. Selain itu, ulama ini tergolong penulis kitab yang produktif.

Al-Maqassari segera menunjukkan bakatnya untuk menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan sang guru. Karena ketekunan dan kepintarannya, ia mampu memikat hati al Khawalti, yang kemudian memberi gelar al-Maqassari sebagai al Taj al-Khalwati (Mahkota Khalwati).

Selesai berguru di Damaskus, al-Maqassari kembali ke Mekah. Di kota suci ini, ia sempat mengajar selama beberapa tahun. Kebanyakan muridnya berasal dari wilayah Melayu-Indonesia, baik dari kalangan jamaah haji maupun dari komunitas Jawi di Haramayn. Salah seorang muridnya yang terkenal adalah Abd-al Basyir al Dhahir (dari Rapang, Sulawesi Selatan), yang dikemudian hari dikenal sebagai penyebar utama tarekat Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah di Sulawesi bagian Selatan. (Azra 2013: 282)

Kembali ke Nusantara

Setelah dua puluh tahun lebih berkelana dari tanah kelahirannya, tiba saatnya al-Maqassari kembali ke Nusantara. Tapi, menurut Azra, ia tidak kembali ke Gowa, melainkan menetap di Banten. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh sahabat lamanya yang sekarang sudah naik takhta: Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1651-1683).

Di bawah pemerintahan Sultan Ageng, Kesultanan Banten mencapai masa keemasannya. Pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional yang penting di Nusantara. Sebaliknya, kapal-kapal Kesultanan Banten berlayar ke berbagai penjuru Nusantara dan dunia sebagai kekuatan dagang. Satu-satunya musuh utama Kesultanan Banten di masa itu adalah Belanda (VOC). Kedua kekuatan ini berperang pada 1619 dan 1633-1639.

Selain itu, Sultan Ageng juga mengukuhkan Banten sebagai salah satu pusat Islam di Nusantara. Dengan begitu, keberadaan al-Maqassari—sebagai ulama yang memiliki jaringan ulama internasional— segera menjadi penting. Hanya dalam waktu singkat al-Maqassari telah masuk dalam jajaran elit Kesultanan Banten. Ia menduduki salah satu jabatan tertinggi di kalangan elite istana, dan menjadi anggota Dewan Penasehat Sultan yang paling berpengaruh. Al-Maqassari memainkan peranan penting bukan hanya dalam masalah-masalah keagamaan, tapi juga dalam masalah-masalah politik.

Ketika terjadi konflik antara Sultan Ageng dengan putranya, Abd al-Qahar yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji, al-Maqassari memihak Sultan Ageng. Saat Sultan Haji mengundang bantuan Belanda dalam perang melawan ayahnya, al-Maqassari menentang keras kebijakannya muridnya tersebut. Setelah bertempur selama setahun lebih, pada tahun 1683 Sultan Ageng akhirnya tertangkap pasukan Belanda, lantas dibuang ke Batavia. Pada 1692, Sultan Ageng Tirtayasa wafat di tanah pembuangan.

Pascatertangkapnya Sultan Ageng, al-Maqassari dan Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng lainnya, memimpin pertempuran melawan pasukan Belanda dan Sultan Haji. Pasukan al-Maqassari—yang terdiri atas sekitar 4.000 orang Banten, Makasar/Bugis, dan Jawa—melakukan perang gerilya di seluruh wilayah Jawa bagian Barat. Pasukan ini sulit ditaklukkan Belanda. Ini membuktikan keberanian dan kegigihan al-Maqassari dalam menentang musuh.

Baru setelah dengan tipu-daya, Belanda akhirnya berhasil menangkap al-Maqassari pada Desember 1683. Dengan tertangkapnya al-Maqassari, praktis Perang Banten berakhir. Sang ulama kemudian dibawa ke Batavia. Belakangan, September 1684, karena khawatir kaum muslim akan membebaskannya, Belanda memutuskan mengasingkan al-Maqassari ke tanah jajahannya yang lain: Sri Lanka. Bersama al-Maqassari, kedua istri dan 12 muridnya, ikut ke tanah pembuangan.

Masa Pembuangan

Masa pembuangan al-Maqassari di Sri Lanka berlangsung selama satu dasawarsa. Justru di masa pembuangan inilah, ia produktif menghasilkan karya tulis. Sebagian besar kitab karyanya ditulis di masa ini, kebanyakan memakai judul Sylamiyah (Sailan atau Ceylon) atau “telah ditulis dengan Sarandib” (istilah Arab Abad Pertengahan untuk Sri Lanka).

Tak hanya menulis kitab, al-Maqassari juga berperan penting mengasuh komunitas Muslim Melayu yang masih baru dan kecil di Sri Lanka. Ia juga menjalin hubungan dengan ulama lain di sekitar pulau itu, seperti Ibrahim Minhan dan Sidi Matilaya. Salah satu karyanya yang terkenal, Safinat al Najah, ditulis atas permintaan Ibrahim Minhan, yang berasal dari India. Bahkan Aurangzeb, Sultan Dinasti Moghul yang menjadi penguasa India (sepanjang 1659-1707) berkali-kali memperingatkan penguasa Belanda agar memperhatikan kesejahteraan al-Maqassari. Ini membuktikan bahwa nama al-Maqassari sebagai ulama yang mendalami keilmuan sudah bergaung hingga di kawasan India dan Sri Lanka.(Azra 2013: 292-293).

Bisa dikatakan, pembuangan itu gagal memutus kontak-kontak luar al-Maqassari. Kontak-kontaknya dengan para jamaah haji Melayu Indonesia yang transit di Sri Lanka dalam perjalanan pergi-pulang dari Mekah dan Madinah, serta kontak dengan pedagang-pedagang muslim, juga terus berlangsung cukup intens. Para jamaah haji inilah yang membawa karya-karya al-Maqassari, yang ditulis di Sri Lanka, ke Nusantara sehingga kita bisa membacanya hingga sekarang.

Hubungan al-Maqassari yang demikian luas dan pengaruhnya yang masih besar di kalangan kaum muslim Melayu-Indonesia, membuat Belanda curiga ulama kharismatis ini membentuk jaringan yang terdiri atas penguasa-penguasa muslim di Nusantara, yang akan melakukan peperangan serentak dalam skala besar melawan Belanda. Karena khawatir akan reaksi politis dan relegius hubungan al-Maqassari dengan orang-orang senegerinya, di tahun 1693 penguasa Belanda memutuskan mengasingkan sang ulama ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.

Ilustrasi: Makam Syeh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan

Tanjung Harapan dikenal sebagai tempat pembuangan yang buruk.Sebagian besar orang-orang buangan adalah budak-budak yang disuruh bekerja di perkebunan-perkebunan Belanda di wilayah itu. Bersama para pengikutnya, al-Maqassari ditempatkan di sebuah desa bernama Zandvliet, yang terletak di mulut Sungai Eerste. Wilayah pemukiman ini kemudian dikenal dengan nama Macassar.

Di tanah pembuangan yang jauh itu, al-Maqassari umumnya menerima perlakukan yang baik dari penguasa Belanda. Meski dalam pengawasan yang ketat, al-Maqassari dan para muridnya tetap bisa menjalankan kegiatan-kegiatan ibadah dan pengajaran secara diam-diam, di kalangan orang-orang buangan dari wilayah jajahan Belanda. Dari kegiatan ini, cukup banyak mualaf baru yang dihasilkan.

Al Maqassari hanya enam tahun menjalani masa pembuangan di Tanjung Harapan. Pada Mei 1699, di usia 78 tahun, ulama besar ini menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya dikuburkan di perbukitan False Bay, tak jauh dari desa Zendvliet. Wafatnya al-Maqassari melegakan penguasa Belanda, tapi sebaliknya merupakan kabar duka mendalam bagi kaum muslim Nusantara.

Hingga kini pun nama Syekh Muhammad Yusuf al-Maqassari masih dikenang dengan kekaguman. Para pengikut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Makassar, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang. [Satyadarma]