Syafii Maarif: Amien Rais tak Usah Didengar

Ilustrasi: Buya Syafii Maarif/Maarif Institute

Koran Sulindo – Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif angkat bicara terkait ucapan Amien Rais yang akan ‘menjewer’ Muhammadiyah, jika tak mendukung Prabowo Subianto. Menurut Buya Maarif,  Amin tak punya kewenangan apa-apa untuk melakukan itu.

“Halah, jewer-jewer. Enggak usah didengar itu,” kata Maarif di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Jumat, (23 /11/2018).

Menurut Maarif, Muhammadiyah memberikan kebebasan pada anggotanya. Hal tersebut sesuai dengan Muktamar Muhammadiyah di Ujung Pandang pada 1971. Sejak itu, anggota organisasi masyarakat itu bebas menentukan pilihan politik. Harusnya, kata Maarif, Muhammadiyah menegakkan hasil muktamar tersebut. Tak ada urusan dengan Amien Rais, meskipun dia adalah mantan ketua umum. Tidak digiring dan diarahkan pilihan anggota pada pasangan calon tertentu.

“Jadi itu serahkan saja pada warga muhammadiyah sebagai warga negara. Tapi jangan golput,” katanya.

Sebagai salah satu ormas Islam tertua, Maarif menyebut Muhammadiyah sudah menjaga marwahnya. Ia pun  menyoal kapasitas Amien. Sebab tak ada yang berhak menentukan arah Muhammadiyah, selain Ketua Umum Haedar Nashir.

“Bukan Amien. Haedar yang pegang kendali. Itu kan ketua yang sekarang ini. Sekarang Haedar tokoh sentralnya, bukan Amin atau bukan saya,” kata Maarif.

Merawat Kewarasan Publik

Syafii Maarif, meluncurkan buku bertajuk “Merawat Kewarasan Publik: Refleksi Kritis Kader Intelektual Muda”. Buku cetakan Maarif Institute ini sebagai seruan menjaga moralitas dan keadaban publik, kemarin.

“Saya berharap umat Islam di Indonesia benar-benar mengembangkan Islam yang terbuka, inklusif dan memberi solusi terhadap masalah bangsa,” katanya.

Buku tersebut diharap bisa menjadi pencerah kondisi bangsa saat ini. Mengingat banyak masalah ditimbulkan karena kompleksitas umat Islam sebagai mayoritas.

“Banyak persoalan lain yang lebih penting. Seperti pemberantasan korupsi, dan hal lain yang merongrong kewibawaan bangsa. Umat Islam tak perlu lagi menyoal hubungan antara Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan. Saya ingin melihat ketiganya satu padu, satu tarikan nafas dalam kehidupan di negeri tercinta ini,” kata Maarif.

Sementara Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Daraz menambahkan, buku tersebut merupakan refleksi pemikiran kritis. Intisari buku sangat relevan dengan Indonesia yang punya ragam etnis budaya. Apalagi terhadap kaum intelektual muda di Indonesia.

“Untuk menumbuhkan tunas baru, pelanjut kiprah moral dan intelektual yang selama ini dihidupkan Buya Maarif dalam berbangsa dan bernegara,” kata Daraz. [CHA/DAS]