Sutan Takdir Alisjahbana Adalah Layar Terkembang

Sutan Takdir Alisjahbana - republika

Dalam dunia kebudayaan Indonesia, Sutan Takdir Alisyahbana adalah layar terkembang.

Ibarat perahu, layarnya terkembang, melaju dengan tak gentar. Pulau yang ia tuju sangat jelas. Tegas. Tak bergeming. Pulau itu adalah modernitas. Indonesia yang baru.

Layar Takdir Alisyahbana terkembang, menulis novel; esai, makalah, buku, berorasi, ber polemik. Aneka gagasannya menunjuk satu arah saja, dan tak pernah berubah: Indonesia modern.

Di tahun 1930an, Indonesia masih dijajah Belanda. Akan kemana bangsa ini menuju? Ini era belasan tahun sebelum Indonesia merdeka.

Sutan Takdir Alisjahbana lahir di tahun 1908. Di tahun 1930an, usianya masih dua puluhan saja.

Tapi di tahun 30an, Takdir Alisyahbana sudah membuat tiga hal penting. Pertama, Ia berpolemik tentang arah yang sebaiknya ditempuh Indonesia. Polemik itu legendaris. Kita mengenangnya dengan nama “Polemik Kebudayaan.”

Polemik itu berlangsung tiga kali: Agustus-Oktober 1935. Lalu April 1936. Dan Juni 1939. Lawan polemiknya pun tokoh besar era itu: Ki Hajar Dewantara, Soetomo dan Adinegoro. Terlibat pula banyak tokoh lain. (1)

Kedua, juga di tahun 1930an, tepatnya tahun 1933, Takdir Alisyahbana bersama Armijn Pane dan Amir Hamzah mendirikan majalah sastra Pujangga Baru.

Ini majalah, ujar Takdir, membawa sastra baru. Sastra lama, menurut Takdir, sudah usang. Sastra baru membawa spirit Indonesia baru. Sastra lama tenggelam dalam Indonesia lama.

Ketiga, di tahun 1930an pula, tepatnya di tahun 1936. Ia menerbitkan novel penting: Layar Terkembang. Novel ini dianggap tonggak membawa era sastra baru itu.

Baik dalam polemik kebudayaan, majalah Pujangga Baru, ataupun novelnya Layar Terkembang, gagasan Takdir Alisjahbana jelas dan tegas.

Seru Takdir: “Kemajuan hanya datang dari modernitas. Dunia barat lebih dahulu sampai di sana.

Indonesia sebagai budaya lama adalah budaya ekspresif. Ini budaya yang dikuasai oleh agama dan seni. Sementara budaya modern budaya yang progresif. Budaya ini didominasi oleh ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Pusat budaya lama ada di masjid, gereja, vihara. Sementara pusat budaya baru dan modernitas ada pada universitas, pabrik dan laboratorium.

Indonesia harus hijrah. Transformasi. Berpindah dari budaya ekspresif menuju budaya progresif.

-000-

Novel layar terkembang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, di tahun 1936.

Forum para penulis dan expert judgment yang diinisiasi oleh perkumpulan penulis Indonesia (Satupena), di bulan Oktober 2021, memilih novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai satu dari daftar 100 buku yang mewarnai Indonesia sejak era kolonial.

Novel Layar Terkembang ini bisa kita sebut bagian dari sastra bertendensi. Ini sastra yang dibuat untuk gagasan modernitas. Termasuk juga gagasan soal emansipasi wanita.

Berbeda dengan novel pendahulunya, novel ini tak lagi mengambil setting sosial tanah melayu. Pusat kisah novel terjadi di Batavia, Betawi, yang kini menjadi Jakarta.

Berbeda dengan novel sebelumnya, sangat terasa dalam novel ini pembelaan, favoritisme, anjuran kepada modernitas. Dunia Barat.

Indonesia yang nyiur melambai dianggap terlalu tenang. Menidurkan. Tak membuat maju. Imajinasi itu harus diganti dengan deru suara kereta api, pesawat terbang, dan orang orang yang hiruk pikuk tengah menimba ilmu.

Dalam novel itu, dikisahkan dua kakak adik, Tuti dan Maria. Maria mewakili spirit Indonesia lama. Sementara Tuti itu spirit dari Takdir Alisyahbana sendiri. Tuti wanita yang terpelajar. ia aktif di dunia publik. Berorganisasi. Namun kadang Ia merasa kurang memberi tempat dan waktu yang cukup untuk pengalaman asmara.

Wacana modernitas Tuti, dan adiknya Maria, yang tradisional, dibalut oleh cinta segi tiga. Mereka terlibat asmara akhirnya pada lelaki yang sama.

Novel dan sastra bertendensi pun tetap memerlukan kisah cinta agar lebih menyentuh. Namun kisah cinta dalam novel bertendensi hanya pemanis saja. Yang utama di sana tetaplah pesan sosial.

Layar terkembang judul novel ini cerminan pesan sosial Takdir Alisyahbana sendiri tentang modernitas, yang terkembang seperti layar.*

1. Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan : Pokok Pikiran St. Takdir Alisjahbana, Pustaka Jaya, 1977