Ilustrasi: Suasana pengambilan nomor urut Capres-Cawapres di KPU, Jumat (21/9/2018)/Screenshot Kompas TV

Koran Sulindo – Survei Charta Politika menemukan suara kedua pasangan calon, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak bergerak (stagnan) sejak 3 bulan lalu.

“Stagnasi tersebut terjadi karena semakin banyaknya pemilih yang telah mantap untuk memilih kedua pasangan calon, yang mencapai sekitar 80 persen,” kata Direktur Utama Charta Politika, Yunarto Wijaya, di Jakarta, Rabu (16/1/2019).

Dalam Pemilihan Presiden 2019 nanti sebanyak 53,2 persen suara memilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin, sedangkan sebanyak 34,1 persen memilih Prabowo Subianto – Sandiaga Uno.

Hasil ini mirip dengan survei pada Oktober 2018 setelah keduanya resmi menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pada saat itu Jokowi-Ma’ruf Amin mendapat suara sebanyak 53,2 persen sementara Prabowo-Sandiaga 35,5 persen. Prabowo – Sandiaga turun sedikit sebesar 1,4 persen. Namun perubahan Oktober ke Desember tersebut secara statistik tidak cukup signifikan karena margin of error mencapai 2,19 persen.

Survei ini digelar 22 Desember 2018-2 Januari 2019 dengan melibatkan 2.000 responden di 34 provinsi dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Menurut Yunarto, stagnasi ini terjadi lantaran tingginya strong voters atau pemilih yang teguh terhadap pilihannya. Pemilih yang sudah mantap memilih Jokowi mencapai 80,9 persen dari tingkat keterpilihan 53,2 persen. Sementara, dari 34,1 persen pemilih Prabowo terdapat 79,6 persen pemilih yang tidak akan mengubah pilihannya. Strong votersterjadi karena Pilpres 2019 merupakan pertandingan ulang Pilpres 2014.

“Strong voters ini pemilih-pemilih yang saat debat calonnya melakukan kesalahan sebesar apa tidak akan mempengaruhi pilihan. Kecuali pada skala ekstrim. Ini sudah terjadi pada pertarungan asal bukan Jokowi, asal bukan Prabowo,” katanya.

Terlebih waktu kampanye yang panjang menjadi faktor lain yang membuat elektabilitas kedua paslon stagnan. Hal ini membuat media dan publik merasa jenuh dengan pola-pola kampanye kedua pasangan capres dan cawapres.

“Yang diuntungkan yang sudah memimpin, tinggal mempertahankan ritme, tidak terjadi tsunami politik mereka menang. Sementara penantang harus menciptakan letupan-letupan baru,” katanya.

Jika ingin mengejar elektabilitas Jokowi, kubu Prabowo-Sandi harus menciptakan momentum baru. Dari survei yang dilakukan Charta Politika, reuni 212 yang diharapkan akan mendongkrak elektabilitas Prabowo-Sandi ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Penyebabnya, kubu Prabowo mencoba memisahkan reuni 212 dengan kontestasi politik.

Apalagi pernyataan-pernyataan Prabowo yang kontroversial belakangan untuk memancing diskusi dan polemik publik sehingga menciptakan letupan-letupan baru.

“Karena kalau terjadi dialog yang datar selama masa kampanye, Prabowo akan kalah. Sehingga mungkin saja itu skenario yang terencana yang menurut saya yang terkait dengan memang itu yang harus dilakukan secara logis dan rasional dan taktis dilakukan oleh orang yang tertinggal,” ujarnya.

Faktor lain, pemilih yang belum rasional. Hal ini yang membuat pemilih tidak sensitif dengan perubahan isu yang terjadi. Perubahan isu hanya menjadi justifikasi bagi calon yang mereka dukung. “Itu mungkin spekulasi saya kenapa di dua bulan ini terjadi stagnasi dari kedua paslon,” kata Yunarto.

Para pemilih yang telah mantap tersebut (strong voters) tidak akan mengubah pilihannya hingga hari H pemilu, kecuali terjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal yang mengakibatkan mereka kecewa.

Reuni 212

Survei juga menemukan reuni 212 pada awal 2018 lalu ternyata tidak mendongkrak peningkatan elektabilitas Prabowo. Menurut survei, 57,3 persen responden menjawab bahwa 212 merupakan gerakan moral dan hanya 23,2 persen untuk mendukung pasangan calon presiden.

Selain itu, survei menemukan terjadi kejenuhan dalam kampanye yang begitu lama dan wacana yang berkembang antar kedua pasangan calon tidak lagi menarik perhatian masyarakat.

“Debat bisa saja menjadi momentum untuk menarik kembali perhatian masyarakat dalam menentukan pilihannya,” kata Yunarto.

Perubahan bisa saja terjadi mengingat jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan (yang tidak menjawab atau tidak tahu/’undecided voters’) mencapai 14,1 persen. Sedangkan pemilih yang mungkin berubah suaranya (yang telah menentukan pilihan namun menyatakan bisa saja berubah/’swing voters’) mencapai 14,1 persen.

Untuk ‘swing voters’ ini, pada pemilih Jokowi-Ma’ruf didapati sebesar 13,1 persen sementara Prabowo-Sandiaga 13,5 persen. Perubahan dapat terjadi signifikan bila ada momentum bagi kedua pasangan calon. [CHA/DAS]