Survei: Lebih Separuh Orang Tua tak Setuju Anak Kembali Bersekolah

Ilustrasi

Koran Sulindo – Survei lembaga Alvara Research Center menemukan lebih dari separuh orang tua tidak setuju jika anak kembali masuk sekolah di tengah masa pandemi.

“Dua dari lima orang setuju jika anak sekolah masuk kembali setelah “New Normal” diberlakukan,” kata CEO Alvara, Hasanuddin Ali, saat merilis hasil survei secara virtual, di Jakarta, Minggu (12/7/2020).

Menurut Hasanuddin, alasan utama adalah takut tertular dan membawa covid-19, karena anak rentan terhadap penyakit, susah mengikuti protokol kesehatan seperti memakai masker dan cuci tangan, serta suka jajan sembarangan.

Sementara jumlah orangtua yang setuju anak kembali bersekolah sebesar 45,5 persen. Alasannya antara lain anak justru tidak belajar ketika berada di rumah, anak bosan di rumah saja, anak susah disuruh belajar, dan anak jadi sering bermain.

Selain itu, anak mengaku sudah kangen masuk sekolah dan orangtua tidak memiliki teknik mengajar anak yang baik di rumah. Kemudian menghabiskan kuota internet, orangtua belum memahami substansi pelajaran, dan alasan orangtua yang sudah mulai kembali bekerja di era new normal.

Mayoritas publik mengingnkan sekolah masuk kembali saat kondisi sudah new normal. Antara lain semakin memasifkan imbauan untuk mengikuti protokol kesehatan dengan menyediakan tempat cuci tangan, masker, vitamin, dan diberlakukan shift masuk sekolah.

Pemerintah dan sekolah diminta menyediakan vitamin untuk menjaga imun anak, kantin sekolah diimbau untuk menjual makanan bergizi, dan dilakukan rapid test selama seminggu sekali. Sekolah juga diminta menyediakan makanan bergizi.

Pendidikan anak di era pandemi ini menjadi masalah serius baik bagi anak, sekolah maupun orangtua.

“Saya tidak bisa membayangkan misalnya punya anak tiga, terus mereka harus belajar online secara bersamaan, betapa repotnya, rumitnya,” katanya.

Pemerintah harus memberikan panduan kepada sekolah mengenai sistem belajar di rumah. Pemerintah tidak bisa hanya menyerahkan kepada sekolah untuk berkreasi dan membuat pola pendidikan sendiri di era pandemi ini.

“Pemerintah harus membuat SOP untuk memberikan panduan bagi sekolah dan juga kepada orangtua. Mereka juga perlu dibimbing cara mendidik anak yang dibutuhkan apa, kompetensinya apa, itu yang diperlukan orangtua,” katanya.

Pemerintah juga harus memperhatikan kuota internet bagi anak sekolah untuk belajar secara online. Terutama bagi masyarakat yang tidak punya kemampuan untuk membelinya.

“Kelompok bawah untuk makan saja belum tentu punya uang, makanya bantuan tunai dan sembako sangat penting. Dalam kaitannya pendidikan, perlu ada bantuan kuota internet sehingga anak bisa mengikuti pembelajaran online,” kata Hasanuddin.

Anggaran Belanja Internet Naik

Survei Alvara Research Center juga menemukan anggaran belanja untuk internet bertambah 2 persen jika dibandingkan tahun 2019 lalu. Kenaikan pengeluaran belanja internet masyarakat itu dipengaruhi juga oleh kebijakan pemerintah untuk bekerja di rumah dan sekolah dari rumah.

“Konsumsi internet kita naik berkali-kali lipat. Orang yang menggunakan internet di atas 7 jam ada 48,7 persen. Baik untuk kebutuhan mengunduh, belanja online, ini menjadikan tingkat pengeluaran internet tinggi,” kata Hasanuddin.

Pengeluaran belanja masyarakat atas kebutuhan internet pada 2020 ini mencapai 8,1 persen, sedangkan tahun lalu hanya sebesar 6,1 persen.

Sementara puncak aktivitas internet masyarakat Indonesia selama pandemi COVID-19 adalah pukul 20.00 WIB.

“Prime time-nya jam 8 malam,” katanya.

Pengguna internet paling dominan selama pandemi COVID-19 di Indonesia adalah generasi Z, kemudian berturut-turut disusul generasi X, generasi milenial atau generasi Y, dan terakhir generasi baby boomers.

Sementara kegiatan yang paling sering dilakukan di internet selama pandemi COVID-19 adalah bertukar pesan (86,5 persen), berselancar di dunia maya (80,5 persen), mengakses jejaring sosial (70,3 persen), menonton video tanpa unduh atau video streaming (55,0 persen), mengirim e-mail (53,8 persen) dan mengunduh (53,5 persen).

Selebihnya untuk belanja online (44,6 persen), pembayaran online (40,4 persen), internet banking (33,7 persen), telepon internet (32,3 persen), mendengar musik (29,9 persen), transportasi online (29,4 persen), game online, belajar online (28,6 persen), video conference (25,3 persen), e-book/e-reader (16,0 persen) dan lainnya (3,0 persen). [RED]