Hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lembaga penegak hukum terendah yang dipercaya masyarakat.
Survei ini dilakukan pada tanggal 18-24 mei 2022 melalui metode random digit dialing (RDD).
“KPK di antara lembaga penegak hukum tingkat trust-nya paling rendah,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi, dalan rilis surveinya, Rabu (8/6).
Adapun Institusi yang paling dipercaya, peringkat pertama hingga ketiga tidak berubah, TNI, Presiden, Polri berdasar rilis survei tersebut.
Berdasarkan hasil survei, sebesar 86,2 persen publik masih percaya dengan TNI. Sedangkan tingkat kepercayaan terhadap Presiden berada di bawah TNI atau sebesar 73,3 persen. Disusul Polri 66,6 persen.
Selanjutnya, ada Kejaksaan Agung dengan 60,5 persen, Pengadilan dengan 60,1 persen, dan KPK dengan 59,8 persen. Di bawah KPK ada MPR, DPD, DPR, dan partai politik. “Jadi, institusi yang paling dipercaya, peringkat pertama hingga ketiga tidak berubah, TNI, Presiden, Polri. Yang berubah adalah Kejaksaan Agung,” kata dia.
Kepercayaan publik terhadap KPK ini turun jika dibandingkan survei sebelumnya atau pada April 2022. Saat itu, tingkat kepercayaan KPK masih berada di atas Kejaksaan Agung karena masih dipercaya oleh 70,2 persen masyarakat.
Meskipun kedua lembaga tersebut sebenarnya mendapatkan tingkat kepercayaan serupa, tapi KPK dinilai unggul dari tingkat ketidakpercayaannya.
“Kejaksaan Agung di survei sebelumnya di posisi ke delapan. Di survei bulan Mei naik ke peringkat empat. KPK di bawah Kejaksaan Agung, pengadilan dan polisi,” kata dia.
Selain kepercayaan terhadap lembaga, survei itu juga menyasar opini masyarakat tentang perilaku korupsi dan upaya pemberantasannya di Tanah Air. Masyarakat menilai perilaku korupsi meningkat dalam dua tahun belakangan.
“Di awal tahun 2022, mayoritas publik menilai tingkat korupsi di Indonesia meningkat (42,8 persen) atau tidak berubah (31,2 persen). Sementara yang menilai menurun hanya sekitar 20,2 persen,” kata dia.
Sepanjang 2020, survei mendapati tren peningkatan kasus tidak berubah signifikan, yaitu 38 hingga 39 persen. Persepsi penilaian tertinggi terjadi pada September 2020 di angka 42,1 persen dan naik menjadi 56,4 persen pada Desember tahun yang sama.
Pada Juni 2021, penilaian kenaikan kasus korupsi di angka 52,9 persen. Angka tersebut naik lebih tinggi satu bulan berselang ke angka 59,7 persen. Namun turun ke level 42,8 persen pada Januari 2022.
“Persepsi negatif menurun tahun 2020, meningkat pada 2021, dan kembali menurun di awal 2022,” kata Burhanudin.
Meningkatnya kasus tersebut bersamaan dengan memburuknya tren pemberantasan korupsi dalam setahun terakhir. Burhanudin mengatakan, penilaian negatif hampir selalu lebih tinggi ketimbang penilaian positif.
Sebesar 37,6 masyarakat menilai pemberantasan korupsi berjalan buruk pada Juli 2021. Sedangkan 27,4 persen menilai baik. Pada November 2021, mayoritas masyarakat masih menilai buruk.
Angka pemberantasan korupsi kembali merosot pada Desember 2021, yaitu 36,9 persen dan 35,7 persen pada Januari 2022. Optimisme pemberantasan korupsi sempat naik ke angka 33,9 persen pada Februari 2022, sementara 31,5 persen menilai buruk. Namun, penilaian negatif kembali naik pada April 2022, yaitu 37,8 persen.
Menanggapi hasil survey itu, Ketua KPK, Firli Bahuri mengaku menghargai apapun hasil survei itu. “Kita hargai apapun hasilnya, tetapi itu tidak menurunkan kinerja kita. Kita tetap kawal dalam rangka pemberantasan korupsi,” kata Firli usai rapat kerja tertutup dengan Komisi III DPR, Rabu (8/6). [DES]