Koran Sulindo – Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB), ulama cum umara, sekonyong-konyong dicerca kalangan yang sebelumnya memuja dan mengelu-ngelukan dirinya. Pasalnya, hanya karena TGB menyatakan secara terbuka sikap politiknya yang mendukung Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan masa kepresidenannya. Sebagai ulama yang baik, TGB juga menghimbau agar masyarakat jangan memakai ayat-ayat suci dalam pemilihan presiden tahun depan, yang bias memecah belah bangsa Indonesia.

Suatu himbauan yang baik bagi kemashalatan rakyat dan negara, tapi malah dihujat sebagai pengkhianat oleh kalangan yang dulu pernah mendukungnya.

Apa yang dialami TGB ini sebenarnya pernah terjadi di masa lalu. Sejumlah ulama yang mendukung Presiden Soekarno– seperti Haji Sirajudin Abbas dan HR Rasuna Said– pernah dituding sebagai “antek Soekarno” oleh sebagian kalangan muslim yang berseberangan dengan Bung Karno. Sebaliknya, sejumlah ulama—Buya Hamka dan kawan-kawan– pernah dipenjarakan karena mengkritik Presiden Soekarno.

Tapi ada hal yang membedakan situasi masa lalu dengan masa sekarang: keadaban dalam berpolitik.

Di masa lalu yang dipertarungkan adalah gagasan dan ideologi politik. Kalaupun ada soal-soal pribadi yang diserang masih dalam koridor keadaban politik. Dan meskipun pertarungan politik itu berlangsung sangat keras, selalu diakhiri dengan cara-cara politik yang beradab.

Sedangkan yang terjadi saat ini jelas jauh dari keadaban politik.

Hari-hari ini praktik politik yang berkeadaban seakan telah surut dalam kehidupan bernegara kita, bahkan dalam kehidupan berbangsa. Dalam beberapa tahun terakhir ini saja, kita dapat menyaksikan, pertukaran pemikiran telah digantikan dengan protes dan demonstrasi penuh kemarahan, lelucon-lelucon sinis yang menyinggung perasaan sesama anak bangsa, makian-makian, dan pelecehan serta pembunuhan karakter anak-anak bangsa, yang bahkan dilakukan di ruang publik yang bisa diakses banyak orang, seperti di televisi dan media sosial. Betapa telah jauhnya kita meninggalkan cara-cara yang beradab dalam berbangsa dan bernegara, yang pernah dilakukan para pendiri negara ini menjelang dan pada masa-masa awal setelah kemerdekaan.

Karena itu, memang, sungguh relevan dan urgen untuk terus menggemakan perlunya praktik politik berkeadaban. Apalagi,  tahun depan, kita akan menjalankan pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif, serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Seperti kata Bung Karno di atas, jangan sampai pemilihan umum yang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara akhirnya malah menjadi pemecah persatuan bangsa.

Memang untuk mewujudkan praktik politik berkeadaban tak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan secara parsial. Apalagi, sistem politik kita saat ini terutama dibangun diatas fondasi elektoral dan popularitas. Sementara ideologi dan gagasan dipinggirkan dari pentas politik.

Yang dihasilkan sistem politik seperti itu kebanyakan adalah pemimpin politik dan politisi banal. Politisi yang hanya mementingkan popularitas dan elektabilitas dirinya sendiri, yang tidak peka terhadap keadaan konstituennya: rakyat.

Singkat kata, hari ini pentas politik kita mempertontonkan elektabilitas + popularitas (yang umumnya didasarkan pada modal+uang) mengatasi moralitas + intelektualitas!

Lantas, akankah keadaban politik bisa terbit dalam situasi suram seperti itu? Harapan selalu ada, meski hanya secercah. Tugas kita sebagai anak bangsa, membuka celah itu selebar mungkin dengan ikhtiar terus menerus. Karena tanpa ikhtiar itu, pertaruhannya di masa depan sangatlah mahal: Republik Indonesia akan pecah sebagai negara-bangsa. [Imran Hasibuan]