Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Ketidaktegasan pemerintah Indonesia menentang invasi Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya ke Suriah memunculkan pertanyaan. Selain karena politik luar negerinya yang menentang penjajahan di atas muka bumi, sikap solidaritas negara-negara Dunia Ketiga yang tercermin lewat Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 telah memudar.

Tentu saja itu menjadi pertanyaan karena Konferensi Asia Afrika kali pertama dilaksanakan di Indonesia. Persidangan tersebut dibuka secara langsung Presiden Soekarno dan diketuai Perdana Menteri Ali Sastromidjojo. Hasil persidangan itu lantas populer dengan nama Dasasila Bandung.

Memang melalui laman resmi Kementerian Luar Negeri, pemerintah menyatakan beberapa hal, semisal mengecam penggunaan senjata kimia oleh siapapun. Lalu, mengimbau setiap pihak menahan diri dan mencegah terjadinya eskalasi memburuknya situasi di Suriah.

Indonesia juga menegaskan kepada semua pihak untuk menghormati nilai dan hukum internasional, terutama piagam PBB tentang kemanan dan perdamaian internasional. Keamanan dan keselamatan masyarakat sipil terutama perempuan serta anak-anak merupakan prioritas.

Penyelesaian konflik Suriah, Indonesia kembali menekankan pentingnya dilakukan negosiasi secara menyeluruh dengan cara-cara damai. Dari keterangan resmi, tampak pemerintah tidak tegas mengecam agresi militer AS dan sekutunya ke Suriah.

Solidaritas Suriah
Pudarnya semangat solidaritas itu membuat kita perlu menengok ke belakang betapa Suriah pernah begitu bersimpati terhadap Indonesia pada periode 1955 hingga 1960-an. Suriah merupakan salah satu negara yang ikut dalam Konferensi Asia Afrika. Kala itu Suriah diwakili Menteri Luar Negeri Khalid El Azm.

Dalam pidatonya El Azm menyinggung berbagai bentuk penjajahan yang masih terjadi di belahan Afrika, Asia dan Palestina. Soal Palestina, misalnya, El Azm menyatakan sebagai salah satu contoh negara yang tragis. Berada di sebelah selatan salah satu provinsi Suriah, Palestina bernasib tragis karena sebuah negara didirikan hasil dari imperialisme.

Ia mengingatkan bahwa negara yang didirikan di Palestina bernama Israel itu bukan milik Asia maupun Afrika. “Israel adalah pos terdepan imperialisme,” demikian El Azm berpidato dalam Konferensi Asia Afrika pada 1955.

Ia juga menyinggung tentang persoalan di Afrika Utara. Kondisi Maroko dan Tunisia disebut sangat menyedihkan dan mencemaskan. Sementara Aljazair disebut berada dalam perang dan terulangnya konflik satu abad. Masalah tragis lainnya yang disinggung El Azm soal Afrika adalah tentang rasialis dan kebijakan Apartheid. Sedangkan masalah di Asia, El Azm secara tegas menyinggung soal Irian Barat (Papua).

Sekali lagi, ia menyebut wilayah ini sebagai warisan imperialisme. Daerah ini disebut sebagai bagian integral dari Republik Indonesia. Ia justru khawatir Irian Barat waktu itu belum mendapatkan penyelesaian yang layak dari PBB.

Dari sini, kita tahu betapa Suriah punya sikap yang tegas dan bersolidaritas terhadap Indonesia yang menjadi bagian dari negara-negara Dunia Ketiga. Suriah dengan tegas mendukung Irian Barat menjadi bagian integral dari Republik yang masih sangat muda. Jika Suriah punya sikap demikian, lantas mengapa Indonesia hari ini gamang untuk mengecam agresi AS dan sekutunya itu ke Suriah? [KRG]